Jumat, 31 Agustus 2012

Katedral: Tempat Surga dan Bumi Bertemu

Katedral: Tempat Surga dan Bumi Bertemu

Part I:

“ Uskupmu memimpin dengna duduk di tempat Allah” – St. Ignatius dari Anthiokia, Surat kepada Jemaat di Magnesia no. 6, 107 M
Ini adalah cuplikan surat St. Ignatius sebwaktu para serdadu kaisar memindahkan uskup ini dari keuskupannya di Syria untuk menjalani hukumannya di Roma. 

Apakah yang dimaksud St. Ignatius dgn “ duduk di tempat Allah”, apakah ini “tempat” dalam arti lokasi atau berarti kehadiran atau pendampingan Allah?

Prof. Scott Hahn melakukan penelusuran dengan mengecek ke teks Yunani dan dia mendapatkan jawaban: kedua-duanya. 

Untuk “tempat”, sejumlah manuskrip kuno menggunakan kata Yunani topos (lokasi) sedangkan yang lain menggunakan kata typos (wakil). – Surat St. Klemens dari Roma dan St. Ignatius dari Anthiokia

Hampir dipastikan, kita tidak tahu mana yang digunakan oleh St. Ignatius, maka dengan berserah kepada penyelenggaraan ilahi pemilihan akan dijatuhkan pada kata “typos”, seandainya salah, ia adalah kesalahan yang membahagiakan dari sejumlah penyalin yang tidak diketahui namanya. 

Kedua makna diatas tidak dapat dipisahkan. Uskup memimpin jemaat sebagai wakil Allah di suatu keuskupan tertentu. Dan Uskup memimpin jemaat sebagai wakil Allah di dalam rumah Allah – yakni dalam Bait KudusNya – yang adalah Katedral.  Kiranya mustahil berbicara mengenai katedral sebagai rumah Allah tanpa bicara mengenai Uskup sebagai gambaran dari ke-bapa-an Allah di bumi. 

Kata Katedral memiliki asal-usul biblis yang kaya. Kata ini berasal dari kathedra (=tahta kehormatan) dan muncul dalam edisi Septuaginta (PL versi Yunani). Hanya satu kali Yesus menggunakan kata kathedra dalam arti ini, tapi pilihanNya sangat penting, 

“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa (kathedra Mouseos). Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan padamu” – Mat 23:2-3

Disini, kathedra merupakan tempat duduk yang mengungkapkan wewenang di bidang agama dan moral; dari sana orang-orang bijaksana menyampaikan pengajaran dan pedoman hidup. 

Alexander Sand (pakar Jerman) menuliskan bahwa sebagai tahta kebijaksanaan: “kathedra Mouseos” merupakan salah satu perabot permanent dari sinagoga…. Kathedra ini merupakan tempat duduk para ahli kitab dan orang Farisi waktu mereka menyampaikan ajaran resmi…. Ajaran mereka mengikat seluruh bangsa.
(Alexander Sand, “Kathedra”, Exegetical Dictionary of the New Testament, jilid 2, Grand Rapids, MI: Eerdmans Publising, 1991, 221)

Dari sini terlihat Yesus membedakan “kursi pengajaran” dari kursi-kursi lain yang hanya merupakan kursi kehormatan; untuk kursi kehormatan ini Yesus menggunakan kata yang berbeda, meskipun terkait dengan kata Yunani kathedra (lihat Mat 23:5, protokathedriai).

Di kalangan para penutur Yunani yang lebih luas, kathedra berarti kursi dari mana pada ahli filsafat mengajar murid-murid mereka. Dengan demikian, entah Yahudi atau Yunani, orang yang menduduki kathedra diakui sebagai guru dan pemandu masyarakat. 

Dalam menetapkan perjanjian baru, Yesus tidak menghapuskan perjanjian lama atau struktur perjanjiannya. Yesus menerapkan pada diriNya sendiri peran dari para guru dan imam Israel, para nabi dan raja; dan peran itu Ia delegasikan kepada para rasulNya. Meskipun kathedra itu lebih tinggi dari semua kursi kehormatan yang lain, Yesus memberikan kepada kedua belas rasulNya sesuatu yang lebih tinggil lagi. 

Yesus berkata, “ Aku berkata kepadamu: Sungguh, pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaanNya, kamu, yang telah mengikuti Aku, akan duduk di atas dua belas tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28). Kepada mereka, Yesus menjanjikan tahta (thronoi), yakni kursi pengadilan yang cocok untuk para raja. 

Para rasul akan menduduki tahta-tahta yang tinggi ini, tetapi mereka menyebut kedudukan mereka dengan menggunakan kata yang lebih mengungkapkan jabatan, yaitu episkope, yang dalam terjemahan Inggris kuno diterjemahkan menjadi “bishopric” (=keusukupan), meskipun secara harafiah kata itu berarti “jabatan” (Kis1:20). Secara sederhana, pemegang jabatan itu disebut “pejabat” atau “penilik” – episkopos (Yunani). Dari sini kita memperoleh kata Inggris “episcopacy” (=keuskupan).

Para pengemban jabatan ini, misalnya Timotius (1Tim 3:1), menerima jabatan atau pengangkatan mereka dari tangan para rasul sendiri. Kemudian, masing-masing di kotanya, mereka akan menduduki kathedra yang lebih tinggi daripada Kursi Musa. Seperti dikatakan oleh St. Ignatius, mereka akan “memimpin jemaat dengan duduk di tempat Allah”.


Part II

Penggalian-penggalian arkeologis telah menemukan banyak gereja-gereja milik jemaat Kristiani awal berdampingan dengan sinagoga-sinagoga Yahudi.
(Penggalian di Dura Europos, lihat Jack Finergan - Light from the Ancient Past, Princeton, N.J: Princeton University,1946—403.

Dalam desain dan dekorasi, keduanya mirip satu sama lain. Jemaat Kristen awal mempertahankan kathedra sebagai suatu perabot permanen dalam tempat-tempat ibadah mereka.
(Kemiripan rumah ibadah Kristiani dan Yahudi, lihat Rodney Stark, The Rise of Christianity – San Francisco: HarperCollins,1997—68-69)

Kursi ini diduduki oleh uskup; tahta ini mengungkapkan wewenangnya untuk mengajar, memimpin dan menguduskan. Sepanjang masa para Bapa Gereja—dan malah di seluruh dunia Kristiani—Uskup berkotbah tidak dari mimbar, tetapi dari kathedra-nya; di sana, selama berkotbah, ia tetap duduk. Dalam bahasa Latin ditulis cathedra dan tetap dipertahankan untuk mengungkapkan jabatan uskup dan wewenangnya dan (tentu saja) untuk menyebut gerejanya, yakni katedral, gereja dimana biasanya ia menyampaikan ajaran, kotbah dan berkat liturgis.
(Mengenai kursi kehormatan dalam kedua rumah ibadat: sinagoga dan gereja, lihat Steven J. Schloeder, Architecture in Communion – San Francisco: Ignatius, 1998—86. Lihat juga Louis Bouyer, Liturgy and Architecture – Notre Dame: Notre Dame University Press,1967—25-26, 32-34, 43-45.

Pemahaman Gereja mengenai tugas Uskup sudah mantap sejak masa yang sangat awal. Masa hidup St. Ignatius sebagian bersamaan dengan masa hidup para rasul. Ia adalah pengganti St. Petrus, yang kedua atau yang ketiga sebagai Uskup Anthiokia dan tradisi meyakini bahwa ia adalah muris St. Yohanes Rasul. Karena memiliki hubungan yang begitu dekat dengan para rasul, St. Ignatius merasa wajib menjaga dan membela keluhuran tugas rasuli yang ia emban.

"Hendaknya kita memandang uskup seperti kita memandang Tuhan sendiri” – St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Efesus, no. 6
Kalau Uskup berdiri di tempat Tuhan, maka orang-orang Kristiani hendaknya berdiri bersama dia, “karena semua yang menjadi milik Allah dan milik Yesus Kristus juga menjadi milik uskup” – St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Filadelfia, no. 3

Di dalam gereja uskup, jemaat berdiri di dekat dia, biasanya di depan kathedra-nya. Pada masa St. Ignatius, uskuplah pelayan yang lazim untuk sakramen-sakramen. Di lingkungan Gereja Anthiokia, para imam (=presbyteroi, Yun; priest, Ing) dan para diakon (=diakonoi, Yun; deacon, Ing) mengemban peran yang menonjol seperti dalam Gereja Perjanjian Baru pada zaman para rasul. Tetapi, kalau para imam dan para diakon itu memimpin perayaan sakramen, mereka selalu bertindak sebagai delegatus/utusan uskup.

“ Dalam kaitan dengan Gereja, janganlah seorangpun melakukan sesuatu tanpa uskup. Suatu perayaan Ekaristi hanya dianggap sah kalau dipimpin oleh uskup atau oleh orang yang diserahi tugas itu oleh uskup. Dimanapun uskup tampil, disana hendaknya berhimpun jemaat – sama seperti dimana Yesus Kristus hadir, disitu hadir juga Gereja Katholik. Tanpa persetujuan uskup, tidaklah sah menyelenggarakan pembaptisan atau agape. Sebaliknya, apapun yang disahkan oleh uskup berkenan pada Allah. “
St. Ignatius, Surat kepada jemaat di Smyrna, no. 8
Sudah menjadi kebiasaan bagi uskup untuk merayakan liturgi Gereja setempat dibantu oleh semua klerusnya, dan dikelilingi oleh jemaat kaum beriman yang sudah dibaptis di kota itu. Perayaan seperti ini, oleh Ignatius disebut “harmoni ilahi.”, sebab di istu tertata rapi ketiga jenjang klerus:
1.   “Uskupmu duduk di tahta Allah,
2.   dan para imammu duduk di kursi dewan para rasul,
3.   didampingi oleh para diakonmu”
Perayaan ini merupakan peristiwa “ilahi”, sebab ia mencerminkan apa yang terjadi di surga. Sudah lama para komentator mencatat kemiripan antara liturgi yang dilukiskan oleh St. Iganatius dan pemandangan yang dilukiskan oleh St. Yohanes Rasul dalam kitab Wahyu. Dalam penglihatan St. Yohanes Rasul, ia menyaksikan dua puluh empat tua-tua (=presbyteroi, priest, imam) berdiri dalam barisan setengah lingkaran mengelilingi tahta Allah, dan bersama mereka bergabung juga banyak makhluk saleh yang melambungkan pujian, “ Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah segala Kuasa”
(Why 4: bk. Dom Gregory Dix, The Shape of the Liturgy—New York: Seabury,1982—28f. Lihat juga Didascalia Apostolorum: “Dan untuk para imam hendaknya disediakan tempat khusus di sisi timur rumah ibadat, dan di tengah mereka hendaknya ditempatkan kursi uskup”. Didascalia Apostolorum dalam bahasa Syria, edisi dan terjemahan A. Voobus—Louvain: CSCO,1979—no. 130-131. Lihat juga Scott Hahn, The Lamb’s Supper—New York: Doubleday,1999. Terjemahan Indonesia: Perjamuan Anak Domba, Malang: Dioma, 2007)

Jadi, sebagaimana Allah memimpin liturgi di surga, dikelilingi oleh para rasul dan para kudusNya, demikian pula uskup memimpini di bumi dengan duduk “di tahta Allah”, dikelilingi oleh para klerus dan jemaatnya.

Bagi St. Ignatius dan St. Yohanes, tidak ada dua liturgi tapi hanya ada satu liturgi. Ini merupakan ajaran penting yang membedakan kekristenan awal dari Yudaisme zaman Bait Allah kedua dan agama Israel awal.  Umat Israel kuno memandang liturgi mereka yang di bumi sebagai tiruan liturgi surgawi yang diilhamkan oleh Allah.

Baik Musa maupun Salomo membangun tempat kediaman Allah di bumi—kemah suci dan Bait Allah—seturut pola dasar surgawi yang diwahyukan oleh Allah sendiri (Kel 25:8-9, 1Taw 28:19, Keb9:8). Keyakinan ini diungkapkan oleh para nabi secara mistik, ketika mereka melukiskan bagaimana para malaikat beribadat di tengah nyanyian dan pujian yang terdengar jelas datang dari Bait Allah di Yerusalem (Yes 6:1-7). Madah yang dilambungkan oleh para malaikat adalah nyanyian yang sama yang dilagukan oleh para Lewi di depan ruang mahakudus di bumi. Apa yang dilakukan oleh para imam di ruang mahakudus Bait Allah di bumi adalah tiruan atas apa yang dilakukan oleh para malaikat di surga.
Tetapi, ibadat di bumi itu hanyalah bayangan dari ibadat para malaikat—dan hanyalah bayangan dari ibadat yagn akan disahkan pada zaman Mesias.
Dengan menggunakan tubuh insani, Putra Allah yang kekal telah membawa surga turun ke bumi. Umat Allah tidak lagi beribadat dengan meniru ibadat para malaikat. Dalam liturgi PB, Kristus sendiri yang memimpin liturgi itu, kita tidak hanya meniru para malaikat, tetapi bersama mereka, kita ambil bagian dalam liturgi surgawi.

Inilah yang dilihat St. Ignatius dari kathedra di dalam Gerejanya di Anthiokia dan inilah yang ia lukiskan dalam Surat kepada Jemaat di Magnesia. Dan lebih dari itu, itulah yang dilaksanakan oleh para uskup dewasa ini apabila mereka memimpin dengan duduk “di tahta Allah” dalam liturgi surga dan bumi.

Uskup Agung Wina, Kardinal Christoph Schonborn, menulis: “ Dalam perayaan Ekaristi, surga turun ke bumi, dan Gereja di bumi menengadah, membuka diri kea rah rumah surgawinya”
(Living the Catechism of the Catholic Church, jilid 2: The Sacraments, terjemahan John Saward—San Francisco: Ignatius, 2000—100)


Part III:

Sesudah eksodus dari Mesir (bangsa Israel mengembara di padang gurun), Allah memberikan kepada Musa “contoh kemah suci dan contoh segala perabotnya” (Kel 25:9). Dengan mengikuti contoh itu, Musa memerintahkan pembangunan Kemah Suci, tempat kehadiran Allah di tengah umat pilihanNya, yang dapat dibawa kemana-mana. Berabad kemudian, di Yerusalem, Allah memberikan kepada Daud “rancangan Bait Suci dan ruang-ruangnya, yakni kamar perbendaharaan, kamar-kamar atas dan kamar-kamar dalam serta rancangan untuk tahta kerahiman” (1 Taw28:11). Kepada Raja Salomo, putranya, Allah memberikan wewenang untuk menyebut Bait SuciNya itu dengan dengan “rumah Tuhan” dan “rumah Allah” (1Taw28:20-21).

Orang-orang Kristiani awal melihat Kemah Suci dan Bait Allah itu sebagai “gambaran” biblis yang melukiskan Gereja Kristiani masa depan. Baik Kemah Suci maupun Bait Allah adalah tempat ibadah di bumi yang akan memperoleh penggenapannya dalam ibadat surga dan bumi yang secara terinci kita temukan di dalam buku-buku PB, yakni Surat kepada Orang Ibrani (Ibr 8-10) dan Kitab Wahyu (Why 11:19). Gereja yang sedang beribadat mencakup realitas yang oleh orang-orang Katholik, secara tradisional, disebut Gereja yang Berjuang (Gereja yang dibumi), Gereja yang Jaya (di surga) dan Gereja yang Menderita (di api penyucian).

Apabila orang-orang Kristiani awal berbicara mengenai Gereja, yang mereka maksudkan bukan hanya Gereja Universal yang dilihat secara keseluruhan, tetapi juga Gereja Partikular yakni komunitas setempat bahkan juga setiap bangunan Gereja. Sebab, setiap altar adalah tempat dimana surga turun menyentuh bumi (dalam perayaan Ekaristi).
Sejumlah Gereja Kristiani Timur—yang tetap melestarikan banyak kosa kata Kristiani awal—gereja-gereja masih disebut “Bait Kudus” (istilah ini juga akan ditemukan dalam prasasti-prasasti yang tertulis pada gereja-gereja tua di Roma).

Bagi orang-orang kristiani awal, uskup “memimpin dengan duduk di tahta Allah”, artinya di rumah Allah yang di bumi, di bait kudusNya yang di bumi ini, dalam ibadat, disatukan dengan bait kudus di surga.

Dalam Didascalia Apostolorum (Pengajaran Para Rasul) +/- abad ketiga atau empat, telah mewariskan kepada kita suatu teologi biblis yang mendalam mengenai peran uskup dalam Gereja Allah:

“Sekarang, hai para uskup, kamu adalah imam-imam bagi umatmu; kamu adalah para Lewi yang melayani Kemah Suci Allah, yakni Gereja Katholik yang kudus, yang terus menerus berdiri di hadirat Tuhan Allah. Maka bagi umatmu, kamu adalah imam dan nabi, pangeran, pemimpin dan raja, pengantara antara Allah dan umatNya dan orang-orang yang mengenal Kitab Suci dan ucapan-ucapan Allah; kamu adalah saksi dari kehendak Allah, yang menanggung dosa semua orang dan harus memberikan jawaban kepada semua orang… Sebagaimana kamu telah merengkuh beban semua orang, demikian pula buah-buah yang kamu terima dari seluruh umat akan menjadi milikmu, untuk memenuhi segala sesuatu yang kamu butuhkan. Rawatlah baik-baik mereka berkekurangan, seolah-olah kamu harus memberikan pertanggungjawaban kepada Dia yang akan menuntutnya; Dia tidak mungkin melakukan kesalahan dan tidak dapat dihindarkan. Karena, sebagaimana kamu melayani keuskupan, demikianlah – dari pelayanan kepada keuskupan ini – kamu berhak memperoleh perawatan, seperti para imam, para Lewi dan para pelayan yang melayani di hadapan Allah, sebagaimana tertulis dalam Kitab Bilangan”
 – DA no. 8

Para Uskup harus membimbing, memperlengkapi, mengajar, merawat, menjadi perantara, menerima penghormatan serta penghargaan dan mengemban tanggung jawab untuk jemaat mereka. Singkatnya, mereka harus memainkan peran sebagai seorang ayah dalam suatu keluarga.

Gagasan ini berakar kuat dalam PL. Pada masa para Bapa Bangsa (Nuh, Abraham, Yakub) tidak ada kelas kelompok imami. Dalam setiap keluarga seorang ayah berperan sebagai imam, pemimpin doa dank urban, guru dan pengantara. Tatanan keluarga kudus ini masih tetap bertahan selama masa perbudakan di Mesir dan pengembaraan di padang gurun. Para bapa Israel baru kehilangan hak khusus ini ketika mereka jatuh dalam dosa yang keji karena menyembah anak lembu emas. Waktu itu hanya suku Lewi yang tetap setia kepada Allah dan karena itu hanya merekalah yang tetap mempertahankan martabat imamat.  Tetapi, sesudah itupun, fungsi imamat tetap menjadi bagian dari fungsi seorang bapa keluarga.

Dalam kitab Hakim-hakim, kita temuka bahwa ketika seorang Lewi tampak berdiri di muka pintu Mikha, ia memohon “tinggallah padaku dan jadilah bapa serta imam bagiku” (Hak17:10). Satu bab kemudian, hampir kata demi kata, permohonan Mikha digemakan oleh salah seorang dari suku Dan, “ikutlah kami dan jadilah bapa serta imam kami.” (Hak18:19). Panggilan itu terus bergema dalam hati orang-orang Kristiani awal.

Dengan duduk di tahta Allah, seorang uskup tidak bisa tidak adalah seorang bapa, sebab jati diri Allah adalah “Bapa” dan yang dikerjakan Allah adalah pekerjaan seorang Bapa. St. Ignatius tahu akan hal ini, oleh karena itu ia berani membandingkan dirinya sendiri dengan Allah, Bapa. Rasul Paulus telah melakukan hal yang lebih kurang sama, “Itulah sebabnya aku Sujud kepada Bapa, yang dari padaNya semua martabat bapawi yang di surga dan di bumi menerima namanya” (Ef 3:14-15)
Kata Yunani yang kadang-kadang diterjemahkan “kebapaan” dan kadang-kadang diterjemahkan “keluarga” adalah patria, dalam bahasa Latin paternitas; dari sini kita memperoleh kata Inggris paternity (=kebapaan).


Part IV:

Dalam menelaah surat-surat St. Ignatius, pakar liturgi Inggris Gregory Dix menulis: “Kalau uskup memiliki fungsi perwakilan yang khas maka ia harus menjadi seperti ‘bapa dalam keluarga’ Allah… Ini dapat ditemukan dalam frasa ‘bapa di dalam Allah’ yang masih tetap bertahan: artinya, uskup duduk di tahta sebagai ‘gambar Allah’ dan ‘citra Bapa’.
(Gregory Dix, The Shape of the Liturgy,30)

Dalam Gereja awal, uskup mengamalkan peran mengajarnya sambil duduk pada kathedra-nya (pada tahtanya), tetapi ia mengamalkan peran imaminya sambil berdiri pada altar. Kedua peran ini adalah peran bapawi, dan liturgi sendiri yang memuncak dalam tindakan bapawi ilahi yang tertinggi, yang digenapi oleh uskup.

Rubik tertua untuk komuni kudus yang diambil dari Tradition Apostolica (Tradisi Rasuli) St. Hippolytus (215) berbunyi: Apabila uskup memecahkan roti, waktu membagikan satu potongan kepada setiap orang, hendaknya ia berkata “Roti Surga dalam Kristus Yesus”
(St. Hippolytus, Traditio Apostolica, no. 23.5)

Kegiatannya membagikan komuni adalah suatu gambaran dari tindakan Bapa mengutus Sang Putra, seperti dikatakan Yesus kepada jemaat yang berhimpun di sinagoga di Kapernaum, “BapaKu yang memberikan kepadamu roti yang benar dari Surga” (Yoh 6:32)

Dan apakah artinya cathedra? Apakah artinya tahta uskup yang mengungkapkan jabatannya? Dix menjawab, “ Sungguh, seperti diungkapkan oleh Kitab Wahyu – tahta uskup itu adalah tahta Allah dan tahta Anak Domba” (Why 22:3)

Disini, duduk di cathedra berarti “duduk di tahta Allah” dan dari situlah uskup memimpin-dari tahta Allah, sebagai gambaran khas dari Allah. Dalam liturg di katedral-baik pada masa ini maupun jaman para rasul- surga turun ke bumi. Ini adalah suatu kenyataan yang memesona.

Kita menemukan ungkapan ini dimaklumkan oleh Gereja dalam surat-surat perpisahan St. Ignatius dari Anthiokia sebagaimana dikutip dalam Katekismus Gereja Katholik (KGK) 1993:

“Liturgi adalah karya paripurna Kristus, Kepala dan Tubuh. Secara terus-menerus, Imam Agung kita merayakannya dalam liturgi surgawi bersama dengan Bunda Allah yang kudus, para rasul, semua orang kudus dan semua manusia yang telah masuk ke dalam Kerajaan Surga” – KGK #1187

“Bahkan mereka yang kini merayakan liturgi tanpa tanda-tanda sudah berada di dalam liturgi surgawi; di sana perayaan sungguh-sungguh merupakan persekutuan dan pesta.” – KGK #1136)


*FIK

Ulasan yang sangat baik, sekedar tambahan bahwa suksesi Apostolik mempunyai dasar biblis yaitu St Matias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar