Jumat, 12 Juli 2013

Arwah 40 hari

phooey777:

Ada yang mempercayai, seseorang yang telah meninggal selama 40 hari rohnya masih tidak jauh2 dari tempat tinggalnya.
Kalo dilihat relevansinya dengan kenaikan Tuhan Yesus setelah 40 hari dari kebangkitan.
Apakah pada saat 40 hari tersebut, yang telah meninggal tidak langsung diadili secara khusus ?
Ataukah didalam dimensi kematian, dimensi waktu sudah tidak berlaku sehingga bisa jadi 40 hari, pengadilan khusus, kebangkitan badan dan pengadilan akhir berjalan secara bersamaan ??

Cool 

Mohon pencerahan nya Mod Yopi


phooey777 wrote:Mau nanya ke teman2 berdasarkan pandangan Katolik.
Setelah seseorang meninggal, tahapan apa yang ia lalui.

1. Pengadilan khusus
2. Pengadilan umum
3. Purgatory
4. Biasanya 40 hari setelah seseorang meninggal, rohnya masih disekitar rumah ?
5. Kebangkitan badan


Tolong dibantu pencerahannya Smile
St Yopi:

http://styopi.blogspot.com/2013/07/kebangkitan-badan-pengadilan-khusus.html


St Yopi wrote:
phooey777 wrote:Mau nanya ke teman2 berdasarkan pandangan Katolik.
Setelah seseorang meninggal, tahapan apa yang ia lalui.

1. Pengadilan khusus
2. Pengadilan umum
3. Purgatory
4. Biasanya 40 hari setelah seseorang meninggal, rohnya masih disekitar rumah ?
5. Kebangkitan badan


Tolong dibantu pencerahannya Smile

http://styopi.blogspot.com/2013/07/kebangkitan-badan-pengadilan-khusus.html

phooey777:

Agustinus, yang mengatakan “Begitu jiwa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili“. Hal ini sesuai juga dengan pengajaran di Alkitab, seperti yang kita lihat pada kisah yang dialami oleh Lazarus dan orang kaya itu setelah kematian mereka (lih. Luk 16:16-31). Rasul Paulus mengajarkan, “…manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2). Kita akan diadili oleh Tuhan menurut perbuatan kita (1 Pet 1:17, Rom 2:6). Jika Tuhan sendiri mengajarkan bahwa gaji pekerja tidak boleh ditunda (lih Im 19:13), maka Ia sendiri pasti memenuhi peraturan tersebut, dan Ia akan memberi penghargaan kepada mereka yang telah melakukan tugasnya di dunia dengan setia seturut perintah-perintah-Nya. Maka seperti kata St. Ambrosius, “Kematian adalah penghargaan perbuatan baik, mahkota dari panen.”
Tuhan Yesus akan duduk sebagai Hakim (lih. Yoh 5:22). Pada Perjamuan Terakhir, Yesus berjanji kepada para rasul-Nya untuk datang kembali setelah kenaikan-Nya ke surga dan untuk membawa mereka kepada diri-Nya (lih. Yoh 14:3).


Ada yang mempercayai, seseorang yang telah meninggal selama 40 hari rohnya masih tidak jauh2 dari tempat tinggalnya.
Kalo dilihat relevansinya dengan kenaikan Tuhan Yesus setelah 40 hari dari kebangkitan.
Apakah pada saat 40 hari tersebut, yang telah meninggal tidak langsung diadili secara khusus ?
Ataukah didalam dimensi kematian, dimensi waktu sudah tidak berlaku sehingga bisa jadi 40 hari, pengadilan khusus, kebangkitan badan dan pengadilan akhir berjalan secara bersamaan ??

Cool

Mohon pencerahan nya Mod Yopi

Kembali Ke Atas Go down


Pada dasarnya, angka 40 (empat puluh) mempunyai arti yang cukup istimewa didalam Gereja, termasuk angka-angka lainnya.

Katekismus Gereja Katolik

Percobaan Yesus
538 Injii-injil berbicara tentang waktu kesendirian yang Yesus lewati di sebuah tempat sunyi, langsung sesudah pembaptisan-Nya oleh Yohanes : "Dibawa" oleh Roh Kudus ke padang gurun, Yesus tinggal di sana selama empat puluh hari, tanpa makan. Ia hidup di antara binatang-binatang buas, dan malaikat-malaikat melayani-Nya . Pada akhirnya setan mencobai-Nya sebanyak tiga kali, dengan berusaha menggoyahkan sikap keputeraan Yesus terhadap Allah. Yesus menampik serangan-serangan ini, dalamnya cobaan Adam di firdaus dan cobaan Israel di padang gurun sekali lagi diangkat ke permukaan, dan setan mundur dari hadapan-Nya, supaya kembali lagi "pada waktunya" (Luk 4:13). 394, 518
539 Injil-injil menunjukkan arti keselamatan dari kejadian yang penuh rahasia ini. Yesus adalah Adam baru, yang tetap setia, sedangkan Adam pertama menyerah kepada percobaan. Yesus melaksanakan perutusan Israel secara sempurna. Bertentangan dengan mereka yang dulu selama empat puluh tahun di padang gurun menantang Allah Bdk. Mrk 3:27., Kristus memperlihatkan Diri sebagai Hamba Allah, yang taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dengan demikian Yesus adalah pemenang atas setan: ia sudah "mengikat orang kuat", untuk merampas kembali darinya jarahannya Bdk. Mat 16:21-23.. Kemenangan Kristus atas penggoda di padang gurun mendahului kemenangan kesengsaraan, bukti ketaatan cinta-Nya yang paling tinggi sebagai anak kepada Bapa-Nya. 397, 385, 609
540 Percobaan itu menunjukkan, atas cara apa Putera Allah itu Mesias, bertentangan dengan peranan yang setan usulkan kepada-Nya dan di mana manusia lebih senang melihatnya Bdk. LG 3.. Karena itu Kristus mengalahkan penggoda demi kita. "Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibr 4:15). Oleh masa puasa selama empat puluh hari setiap tahun, Gereja mempersatukan diri dengan misteri Yesus di padang gurun.
Yesus dan Kenisah

583 Sebagaimana para nabi sebelumnya, demikian pun Yesus menunjukkan penghormatan yang sangat dalam kepada kenisah Yerusalem. Empat puluh hari sesudah kelahiran-Nya Ia dipersembahkan di sana kepada Allah oleh Yosef dan Maria Bdk. Luk 2:22-39.. Dalam usia dua belas tahun Ia memutuskan untuk tinggal di kenisah, supaya mengingatkan orang-tua-Nya bahwa Ia harus berada di rumah Bapa-Nya Bdk. Luk 2:46-49.. Selama kehidupan-Nya yang tersembunyi Ia pergi setiap tahun paling kurang pada pesta Paskah ke kenisah Bdk. Luk 2:41.. Karya-Nya di muka umum terjadi dalam irama ziarah-ziarah-Nya ke Yerusalem pada hari-hari raya Yahudi yang besar Bdk. Yoh 2:13-14; 5:1.5:14; 7:1.7:10.7:14; 8:2; 10:22-23..
YESUS "YANG NAIK KE SURGA, DUDUK DI SISI KANAN ALLAH BAPA YANG MAHAKUASA"

659 "Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah" (Mrk 16:19). Tubuh Kristus telah dimuliakan pada saat kebangkitan, seperti dibuktikan oleh sifat-sifat baru dan adikodrati, yang dimiliki tubuh-Nya mulai sekarang dan seterusnya Bdk. Luk 24:31; Yoh 20:19.26.. Tetapi selama empat puluh hari, di mana Ia dengan ramah makan dan minum bersama murid-murid-Nya Bdk. Kis 10:41. dan mengajarkan Bdk. Kis 1:3. mereka mengenai Kerajaan Allah, kemuliaan-Nya masih terselubung dalam sosok tubuh seorang manusia biasa Bdk. Mrk 16:12; Luk 24:15; Yoh 20:14-15; 21:4.. Penampakan Kristus lantas berakhir dengan masuknya kodrat manusiawi-Nya secara definitif ke dalam kemuliaan ilahi, yang dilambangkan oleh awan Bdk. Kis 1:9; bdk. juga Luk 9:34-35; Kel 13:22. dan langit Bdk. Luk 24:51.. Di sana Yesus duduk di sebelah kanan Allah <<71>>. Sebagai kekecualian - dan hanya satu kali - Ia menunjukkan Diri dalam suatu penampakan terakhir kepada Paulus - seperti kepada anak yang "lahir cacat" (1 Kor I5:8 ) - dan menjadikan dia rasul Bdk. 1 Kor 9:1; Gal 1:16..

Penjelasan yang benar mengenai 40 hari setelah kematian adalah:

1687 Salam untuk jemaat. Salam imam membuka upacara. Sanak keluarga dari orang yang mati mendapat salam berupa perkataan "hiburan" [dalam arti Perjanjian Baru: kekuatan Roh Kudus dalam harapan]. Bdk. 1 Tes 4:18. Jemaat yang berkumpul dan berdoa juga mengharapkan "kata-kata hidup abadi". Kematian seorang anggota jemaat (atau hari ulang tahun kematian ataupun hari ketujuh dan keempat puluh sesudah kematian) merupakan kesempatan untuk mengarahkan pandangan melewati cakrawala dunia ini. Ia harus mengantarkan umat beriman kepada pengertian yang benar dalam iman akan Kristus yang telah bangkit.

1 Tesalonika
4:13. Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.
4:14 Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.
4:15 Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal.
4:16 Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit;
4:17 sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.
4:18 Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini.

Mengenai arwah atau jiwa atau roh:

Menurut St. Thomas, para Malaikat itu adalah ciptaan Tuhan yang berada di atas kita (manusia), karena mereka adalah mahluk yang murni rohani, tidak terbatas oleh tubuh dan organ penglihatan untuk mengetahui sesuatu.

Ketika kita telah wafat, kita hampir serupa dengan Malaikat kecuali dalam hal dosa, Malaikat yang berdosa telah menjadi iblis, sedangkan Malaikat tetap suci murni.

St. Thomas Aquinas, Summa Theology, Part II, q.62, a.1: (seperti biasa, St. Thomas menuliskan dahulu keberatan- keberatan tentang topik yang dibicarakan, dan baru kemudian menjelaskan jawabannya)

Artikel 1. Apakah para malaikat diciptakan dalam kondisi melihat Allah dengan sempurna (beatitude)?

Keberatan 1. Kelihatannya para malaikat diciptakan dalam kondisi melihat Allah (beatitude). Sebab dikatakan ((De Eccl. Dogm. xxix) bahwa “para malaikat yang terus berada dalam kondisi beatitude di mana di dalamnya mereka diciptakan, tidak dari kodratnya mempunyai kesempurnaan yang mereka miliki. Karena itu para malaikat diciptakan di dalam beatitude.

Keberatan 2. Selanjutnya kodrat malaikat lebih sempurna daripada ciptaan yang bertubuh (corporeal). Tetapi ciptaan yang bertubuh, sesaat setelah penciptaannya dibuat dengan sempurna dan lengkap… seperti dikatakan oleh St. Agustinus (Gen. ad lit, i, 15). Oleh karena itu, Tuhan tidak menciptakan kodrat malaikat dengan tidak sempurna dan tidak lengkap. Sebab pembentukan dan kesempurnaan diperoleh dari kondisi melihat Tuhan… Karena itu, malaikat diciptakan dalam kondisi beatitude.

Keberatan 3. Selanjutnya menurut St. Agustinus (Gen ad lit. IV, 34; v,5), semua ciptaan diciptakan dalam enam hari, diciptakan bersama- sama pada saat yang sama; sehingga seluruh enam hari pasti terjadi segera sejak saat permulaan penciptaan dunia. Tetapi menurut penjelasannya, di dalam enam hari tersebut, “pagi hari” adalah pengetahuan para malaikat, yang olehnya mereka mengetahui Sang Sabda dan segala sesuatu di dalam Sang Sabda. Oleh karena itu, segera setelah penciptaan mereka, mereka mengetahui Sang Sabda, dan segala sesuatu di dalamNya. Tetapi kebahagiaan para malaikat tercapai melalui melihat Sang Sabda. Karenanya, para malaikat berada dalam kondisi beatitude (melihat Allah) sejak dari awal mula penciptaan mereka.

Sebaliknya, untuk didirikan atau diteguhkan di dalam kebaikan adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kodrat beatitude. Tetapi para malaikat tidak diteguhkan di dalam kebaikan sesaat setelah mereka diciptakan; kejatuhan beberapa dari mereka [ke dalam dosa menolak Allah] menunjukkan tentang ini. Oleh karena itu, para malaikat tidak diciptakan dalam kondisi melihat Allah dengan sempurna (beatitude) pada saat mereka diciptakan.

Saya menjawab bahwa, Dengan istilah beatitude maksudnya adalah puncak kesempurnaan dari rasio atau dari kodrat intelektual; dan karenannya, hal itu adalah sesuatu yang diinginkan secara kodrati, sebab setiap ciptaan secara kodrati menginginkan puncak kesempurnaan. Sekarang, terdapat dua sisi dalam sebuah puncak kesempurnaan rasio atau kodrat intelektual. Yang pertama adalah yang dapat diperoleh melalui kekuatan kodrati dari diri sendiri; dan ini disebut sebagai beatitude atau kebahagiaan. Oleh karena itu Aristotle (Ethic. x) mengatakan bahwa puncak kebahagiaan manusia terletak pada kontemplasi yang paling sempurna, di mana di dalam hidup ini seseorang dapat memandang obyek yang dimengerti dengan sempurna; dan obyek itu adalah Allah. Di atas kebahagiaan ini masih ada sesuatu yang lain, yang kita nantikan di masa yang akan datang, di mana “kita melihat Tuhan sebagaimana adanya Dia”. Ini adalah sesuatu yang di atas kodrat setiap mahluk rasional (lih, q.12,a.4).

Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa mengenai kebahagiaan yang pertama ini, di mana malaikat dapat memperolehnya dengan kekuatan kodratinya, ia diciptakan dalam keadaan terberkati. Sebab malaikat tidak memperoleh kebahagiaan melalui rangkaian tindakan, seperti yang dilakukan manusia, tetapi seperti yang telah dibahas di atas, (58,3,4) kebahagiaan tersebut telah dimiliki sesaat setelah diciptakan, sesuai dengan kodrat martabatnya. Tetapi sejak dari penciptaannya, para malaikat tidak mempunyai puncak kebahagiaan yang hanya dapat dicapai di luar kekuatan kodratinya; sebab kebahagiaan sedemikian (beatitude/ beatific vision) tidak menjadi bagian dari kodrat mereka tetapi sebagai tujuan akhirnya; dan akibatnya, mereka tidak memilikinya segera dari saat awal mula mereka diciptakan.

Jawaban terhadap keberatan 1. Beatitude/ kebahagiaan di sini diartikan adalah sebagai kesempurnaan kodrat yang dimiliki oleh malaikat di dalam tingkat kemurnian (state of innocence).

Jawaban terhadap keberatan 2. Mahluk yang bertubuh (corporeal) segera pada awal penciptaan tidak dapat mempunyai kesempurnaan yang [baru dapat] dicapainya melalui proses operasi/ perbuatan; akibatnya, menurut St. Agustinus (Gen. ad. lit. v, 4,23; viii, 3), kemampuan tanah untuk menumbuhkan tanaman tidak segera ada di antara karya penciptaan yang pertama, di mana kekuatan bumi [pertama- tama] hanyalah kekuatan untuk menumbuhkan biji. Dengan cara yang sama malaikat pada saat awal mula penciptaannya mempunyai kesempurnaan kodratnya, tetapi tidak mempunyai kesempurnaan yang [baru dapat] dicapainya setelah proses operasi/ tindakan.

Jawaban terhadap keberatan 3. Malaikat mempunyai dua sisi pengetahuan akan Sang Sabda; pertama adalah secara kodrati dan kedua adalah menurut kemuliaan. Malaikat mempunyai sebuah pengetahuan kodrati yang olehnya ia mengetahui Sang Sabda melalui persamaan/ kemiripan cahaya dengan kodratnya; dan ia mempunyai pengetahuan menurut kemuliaan di mana ia mengetahui Sang Sabda melalui hakekat Tuhan sendiri. Dengan kedua pengetahuan ini malaikat mengetahui segala sesuatu di dalam Sang Sabda; yaitu, tidak dengan sempurna oleh pengetahuan kodratinya, dan dengan sempurna oleh pengetahuan menurut kemuliaan. Oleh karena itu, jenis pengetahuan yang pertama telah ada pada saat penciptaannya; namun jenis yang kedua tidak; [jenis yang kedua ini tercapai] hanya ketika para malaikat menjadi terberkati oleh karena memilih yang Baik. Dan inilah yang disebut sebagai pengetahuan pagi (morning knowledge) bagi mereka.

Jadi kesimpulannya, para malaikat itu diciptakan dengan kondisi rahmat, yang membuat mereka dapat mempunyai pengetahuan akan Allah. Pengetahuan ini tidak diperoleh dari langkah- langkah penelitian/ pembelajaran seperti halnya pada manusia, karena pada malaikat, mereka menerima pengetahuan tersebut berbarengan dengan penciptaan mereka. Kemudian sesaat setelah mereka diciptakan, mereka mengalami semacam pengadilan malaikat (seperti halnya manusia diadili setelah wafatnya) untuk memilih antara menaati Allah atau menolak-Nya. Bagi malaikat, pengadilan ini bukan berkaitan dengan hal percaya atau tidak percaya kepada Allah (karena mereka telah memiliki pengetahuan akan Allah), namun apakah mereka mau taat kepada Allah atau tidak. Sebagian dari para malaikat ini, dipimpin oleh Lucifer, memilih untuk menolak Allah, sehingga memisahkan diri dari Allah; sedangkan sisanya dipimpin oleh Mikael, memilih untuk menaati Allah. Para malaikat yang taat ini kemudian diberi karunia oleh Tuhan untuk melihat Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (beatitude/ beatific vision). Karunia inipun akan diberikan kepada manusia yang ditentukan Allah untuk bersatu dengan-Nya di surga.

Dengan demikian, maka ketika wafat dan menjadi roh, maka keadaan arwah hampir sama dengan para Malaikat, tentu saja dengan kuasa dan kesucian yang berbeda sesuai anugerah dari Tuhan Allah.

Itulah sebabnya kita mengenal Misa Arwah, termasuk didalamnya Misa Arwah 40 hari seperti didalam KGK:

1687 Salam untuk jemaat. Salam imam membuka upacara. Sanak keluarga dari orang yang mati mendapat salam berupa perkataan "hiburan" [dalam arti Perjanjian Baru: kekuatan Roh Kudus dalam harapan]. Bdk. 1 Tes 4:18. Jemaat yang berkumpul dan berdoa juga mengharapkan "kata-kata hidup abadi". Kematian seorang anggota jemaat (atau hari ulang tahun kematian ataupun hari ketujuh dan keempat puluh sesudah kematian) merupakan kesempatan untuk mengarahkan pandangan melewati cakrawala dunia ini. Ia harus mengantarkan umat beriman kepada pengertian yang benar dalam iman akan Kristus yang telah bangkit.

Mempersembahkan Misa bagi kedamaikan kekal jiwa umat beriman yang telah meninggal dunia berkaitan dengan keyakinan kita akan api penyucian. Kita percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.

Sementara tiap-tiap individu menghadirkan diri di hadapan pengadilan Tuhan dan harus mempertanggung-jawabkan hidupnya masing-masing, persekutuan Gereja yang telah dimulai di dunia ini terus berlanjut, kecuali persekutuan dengan jiwa-jiwa yang dikutuk di neraka. Konsili Vatikan II menegaskan, “Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran.” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja no. 51). Oleh sebab itu, sama seperti sekarang kita saling mendoakan satu sama lain dan saling meringankan beban satu dengan yang lainnya, umat beriman di dunia dapat mempersembahkan doa-doa dan kurban guna menolong jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia yang sedang dalam pemurnian, dan tak ada doa dan kurban yang lebih baik yang dapat dipersembahkan selain daripada Kurban Kudus Misa.

Paus Leo XIII dalam ensikliknya, “Mirae caritatis” (1902) dengan indah menguraikan gagasan ini serta menekankan hubungan antara persekutuan para kudus dengan Misa, “Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir, teritimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah… saling memberikan pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan.” Pikirkan gagasan ini: Misa Kudus melampaui ruang dan waktu, mempersatukan segenap umat beriman di surga, di bumi dan di api penyucian dalam Komuni Kudus, dan Ekaristi Kudus sendiri mempererat persatuan kita dengan Kristus, menghapus dosa-dosa ringan serta melindungi kita dari dosa berat di masa mendatang (bdk Katekismus no. 1391-1396). Oleh sebab itu, mempersembahkan Misa dan doa-doa lain ataupun kurban-kurban demi umat beriman yang telah meninggal dunia merupakan tindakan yang kudus serta terpuji.

Praktek ini bukanlah praktek baru. Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (no. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).

Dalam sejarah awal Gereja, kita juga mendapati bukti akan adanya doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Prasasti yang diketemukan pada makam-makam dalam katakomba-katakomba Romawi dari abad kedua membuktikan praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan pada makam Abercius (wafat thn 180), Uskup Hieropolis di Phrygia bertuliskan permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya. Tertulianus pada tahun 211 menegaskan adanya praktek peringatan kematian dengan doa-doa. Lagi, Kanon Hippolytus (± thn 235) secara jelas menyebutkan persembahan doa-doa dalam perayaan Misa bagi mereka yang telah meninggal dunia.

Kesaksian para Bapa Gereja dengan indah mendukung keyakinan ini: St Sirilus dari Yerusalem (wafat thn 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisan pengajarannya, menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup maupun yang telah meninggal dunia dikenang, dan bagaimana Kurban Ekaristi Yesus Kristus mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. St. Ambrosius (wafat thn 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.” St Yohanes Krisostomus (wafat thn 407) mengatakan, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”

Orang mungkin bertanya, “Bagaimana jika jiwa orang yang kita doakan telah dimurnikan sepenuhnya dan telah pergi ke surga?” Kita yang di dunia tidak mengetahui baik pengadilan Tuhan ataupun kerangka waktu ilahi; jadi selalu baik adanya mengenangkan saudara-saudara yang telah meninggal dunia serta mempersembahkan mereka kepada Tuhan melalui doa dan kurban. Namun demikian, jika sungguh jiwa yang kita doakan itu telah dimurnikan dan sekarang beristirahat di hadirat Tuhan di surga, maka doa-doa dan kurban yang kita persembahkan, melalui kasih dan kerahiman Tuhan, akan berguna bagi jiwa-jiwa lain di api penyucian.

Sebab itu, kita sekarang tahu bahwa bukan saja praktek ini telah dilakukan sejak masa Gereja Perdana, tetapi kita juga memahami dengan jelas pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia. Jika seseorang meninggal, bahkan jika orang tersebut bukan seorang Katolik, mohon intensi Misa bagi kedamaian kekal jiwanya dan mempersembahkan doa-doa kita jauh lebih bermanfaat serta membantu daripada segala macam kartu simpati atau karangan bunga dukacita. Yang terpenting ialah, hendaknya kita senantiasa mengenangkan mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia dalam perayaan Misa Kudus dan melalui doa-doa dan kurban kita sendiri guna membantu mereka agar segera mendapatkan kedamaian kekal.

Karena kita mendekati hari Peringatan Arwah Semua Orang Beriman (2 November), sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mengenangkan mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia, baik melalui intensi Misa bagi kedamaian kekal jiwa mereka atau, jika diselenggarakan di paroki, mengenangkan mereka secara khusus dalam Novena Arwah.

Misa Arwah sendiri berasal dari tradisi Yahudi:


The book is considered one of the gems of Jewish apocalyptic literature. Except for the Orthodox Slavonic Bible (Ostrog BibleElizabeth Bible, and later consequently Russian Synodal Bible), it was not received into European Christian canons. The Jewish Apocalypse of Ezra, i.e. 2 Esdras 3–14, is regarded as Scripture in the Ethiopian Orthodox Church, and it was also widely cited by early Fathers of the Church, particularly Ambrose of Milan. It may also be found in many larger English Bibles included as part of the Biblical Apocrypha, as they exist in the King James version, the Revised Standard Version, and the earliest editions of the Catholic Douay-Rheims Bible, among others.
The introitus of the traditional Requiem Mass in the Catholic Church is loosely based on 2:34–35: "Eternal rest grant unto them, O Lord, and let perpetual light shine upon them." Several other liturgical prayers are taken from the book. In his VulgateClement VIII placed the book in an appendix after the New Testament with the rest of the Biblical apocrypha, "lest they perish entirely".


Esdras Or Ezra

Esdras the man

Esdras is a famous priest and scribe connected with Israel's restoration after the Exile. The chief sources of information touching his life are the canonical books of Esdras and Nehemias. A group of apocryphal writings is also much concerned with him, but they can hardly be relied upon, as they relate rather the legendary tales of a later age. Esdras was of priestly descent and belonged to the line of Sardoc (Ezra 7:1-5). He styles himself "son of Saraias" (vii, 1), an expression which is by many understood in a broad sense, as purporting that Saraias, the chief priest, spoken of in 2 Kings 25:18-21, was one of Esdras's ancestors. Nevertheless he is known rather as "the scribe" than as "priest": he was "a ready scribe [a scribe skilled] in the law of Moses", and therefore especially qualified for the task to which he was destined among his people.
The chronological relation of Esdras's work with that of Nehemias is, among the questions connected with the history of the JewishRestoration, one of the most mooted. Many Biblical scholars still cling to the view suggested by the traditional order of the sacred text(due allowance being made for the break in the narrative — Ezra 4:6-23), and place the mission of Esdras before that of Nehemias. Others, among whom we may mention Professor Van Hoonacker of Louvain, Dr. T.K. Cheyne in England, and Professor C.F. Kent inAmerica, to do away with the numberless difficulties arising from the interpretation of the main sources of this history, maintain thatNehemias's mission preceded that of Esdras. The former view holds that Esdras came to Jerusalem about 458 B.C., and Nehemias first in 444 and the second time about 430 B.C.; whereas, according to the opposite opinion, Esdras's mission might have taken place as late as 397 B.C. However this may be, since we are here only concerned with Esdras, we will limit ourselves to summarizing the principal features of his life and work, without regard to the problems involved, which it suffices to have mentioned.
Many years had elapsed after permission had been given to the Jews to return to Palestine; amidst difficulties and obstacles the restored community had settled down again in their ancient home and built a new temple; but their condition, both from the political and thereligious point of view, was most precarious: they chafed under the oppression of the Persian satraps and had grown indifferent and unobservant of the Law. From Babylon, where this state of affairs was well known, Esdras longed to go to Jerusalem and use his authority as a priest and interpreter of the Law to restore things to a better condition. He was in favour at the court of the Persian king; he not only obtained permission to visit Judea, but a royal edict clothing him with ample authority to carry out his purpose, and ample support from the royal treasury. The rescript, moreover, ordered the satraps "beyond the river" to assist Esdras liberally and enacted that allJewish temple officials should be exempt from toll, tribute, or custom. "And thou, Esdras, appoint judges and magistrates, that they mayjudge all the people, that is beyond the river" (Ezra 7:25). Finally, the Law of God and the law of the king were alike to be enforced by severe penalties. The edict left all Jews who felt so inclined free to go back to their own country. Some 1800 men, including a certain number of priestsLevites, and Nathinites, started with Esdras from Babylon, and after five months the company safely reachedJerusalem. Long-neglected abuses had taken root in the sacred city. These Esdras set himself vigorously to correct, after the silver and gold he had carried from Babylon were brought into the Temple and sacrifices offered. The first task which confronted him was that of dealing with mixed marriages. Regardless of the Law of Moses, many, even the leading Jews and priests, had intermarried with theidolatrous inhabitants of the country. Horror-stricken by the discovery of this abuse — the extent of which was very likely unknown heretofore to Esdras — he gave utterance to his feelings in a prayer which made such an impression upon the people that Sechenias, in their names, proposed that the Israelites should put away their foreign wives and the children born of them. Esdras seized his opportunity, and exacted from the congregation an oath that they would comply with this proposition. A general assembly of the people was called by the princes and the ancients; but the business could not be transacted easily at such a meeting and a special commission, with Esdras at its head, was appointed to take the matter in hand. For three full months this commission held its sessions; at the end of that time the "strange wives" were dismissed.
What was the outcome of this drastic measure we are not told; Esdras's memoirs are interrupted here. Nor do we know whether, his task accomplished, he returned to Babylon or remained in Jerusalem. At any rate we find him again in the latter city at the reading of the Lawwhich took place after the rebuilding of the walls. No doubt this event had rekindled the enthusiasm of the people; and to comply with the popular demand, Esdras brought the Book of the Law. On the first day of the seventh month (Tishri), a great meeting was held "in the street that was before the watergate", for the purpose of reading the Law. Standing on a platform, Esdras read the book aloud "from the morning until midday". At hearing the words of the Law, which they had so much transgressed, the congregation broke forth intolamentations unsuited to the holiness of the day; Nehemias therefore adjourned the assembly. The reading was resumed on the next day by Esdras, and they found in the Law the directions concerning the feast of the Tabernacles. Thereupon steps were at once taken for the due celebration of this feast, which was to last seven days, from the fifteenth to the twenty-second day of Tishri. Esdras continued the public reading of the Law every day of the feast; and two days after its close a strict fast was held, and "they stood, and confessed theirsins, and the iniquities of their fathers" (Nehemiah 9:2). There was a good opportunity to renew solemnly the covenant between the people and God. This covenant pledged the community to the observance of the Law, the abstention from intermarriage with heathens, the careful keeping of the Sabbath and of the feasts, and to various regulations agreed to for the care of the Temple, its services, and the payment of the tithes. It was formally recited by the princes, the Levites, and the priests, and signed by Nehemias and chosen representatives of the priests, the Levites, and the people (strange as it may appear, Esdras's name is not to be found in the list of the subscribers — Nehemiah 10:1-27). Henceforth no mention whatever is made of Esdras in the canonical literature. He is not spoken of in connection with the second mission of Nehemias to Jerusalem, and this has led many to suppose that he was dead at the time. In fact both the time and place of his death are unknown, although there is on the banks of the Tigris, near the place where this river joins the Euphrates, a monument purporting to be Esdras's tomb, and which, for centuries, has been a place of pilgrimage for the Jews.
Esdras's role in the restoration of the Jews after the exile left a lasting impression upon the minds of the people. This is due mostly to the fact that henceforth Jewish life was shaped on the lines laid down by him, and in a way from which, in the main, it never departed. There is probably a great deal of truth in the tradition which attributes to him the organization of the synagogues and the determination of the books hallowed as canonical among the Jews. Esdras's activity seems to have extended still further. He is credited by the Talmud with having compiled "his own book" (that is to say Esd.-Nehem.), "and the genealogies of the book of Chronicles as far as himself" (Treat. "Baba bathra", 15a). Modern scholars, however, differ widely as to the extent of his literary work: some regard him as the last editor of the Hexateuch, whereas, on the other hand, his part in the composition of Esdras-Nehemias and Paralipomenon is doubted. At any rate, it is certain that he had nothing to do with the composition of the so-called Third and Fourth books of Esdras. As is the case with many menwho played an important part at momentous epochs in history, in the course of time Esdras's personality and activity assumed, in theminds of the people, gigantic proportions; legend blended with history and supplied the scantiness of information concerning his life; he was looked upon as a second Moses to whom were attributed all institutions which could not possibly be ascribed to the former. According to Jewish traditions, he restored from memory — an achievement little short of miraculous — all the books of the Old Testament, which were believed to have perished during the Exile; he likewise replaced, in the copying of Holy Writ, the old Phoenician writing by thealphabet still in use. Until the Middle Ages, and even the Renaissance, the crop of legendary achievements attributed to him grew up; it was then that Esdras was hailed as the organizer of the famous Great Synagogue — the very existence of which seems to be a myth — and the inventor of the Hebrew vocal signs.

The books of esdras

Not a little confusion arises from the titles of these books. Esdras A of the Septuagint is III Esdras of St. Jerome, whereas the GreekEsdras B corresponds to I and II Esdras of the Vulgate, which were originally united into one book. Protestant writers, after the GenevaBible, call I and II Esdras of the Vulgate respectively Ezra and Nehemiah, and III and IV Esdras of the Vulgate respectively I and II Esdras. It would be desirable to have uniformity of titles. We shall follow here the terminology of St. Jerome.

I Esdras

(Gr. Esdras B, first part; A.V. Ezra). As remarked above, this book formed in the Jewish canon, together with II Esdras, a single volume. But Christian writers of the fourth century adopted the custom — the origin of which is not easy to assign — of considering them as two distinct works. This custom prevailed to such an extent that it found its way even into the Hebrew Bible, where it has remained in use. On the other hand, the many and close resemblances undeniably existing between Esd.-Neh. and Paralipomenon, and usually accounted for by unity of authorship, have suggested that possibly all these books formed, in the beginning, one single volume, for which the title of "Ecclesiastical Chronicle of Jerusalem" has been proposed as fairly expressing its contents. Should these books be regarded as independent, or as parts of a larger work? There is little discussion as to the union of I and II Esdras, which may well be considered as a single book. As to the opinion holding Esd.-Neh. and Par. to be only one work, although it seems gaining ground among Biblical students, yet it is still strongly opposed by many who deem its arguments unable to outweigh the evidence in the opposite direction. We should not expect to find in I Esdras, any more than in II Esdras, a complete account of the events connected with the Restoration, even a complete record of the lives of Esdras and Nehemias. The reason for this lies in the author's purpose of simply narrating the principal steps taken in the re-establishment of the theocracy in Jerusalem. Thus, in two parallel parts, our book deals
  • with the return of the Jews under the leadership of Zorobabel;
  • with the return of another band commanded by Esdras.
In the former, with the decree of Cyrus (i, 1-4) and the enumeration of the most prominent members of the caravan (ii), we read a detailed account of the rebuilding of the Temple and its successful completion, in spite of bitter opposition (iii-iv). The events therein contained cover twenty-one years (536-515). The latter part deals with facts belonging to a much later date (458 or 397). Opening with the decree of Artaxerxes (vii) and the census of the members of the party, it briefly relates the journey across the desert (viii), and gives all the facts connected with the enforcement of the law concerning marriages with foreign women (ix-x).
I Esd. is a compilation the various parts of which differ in nature, in origin, and even in language. At least three of the parts may be recognized:
  • the personal memoirs of Esdras (vii, 27-ix, 15);
  • lists very likely taken from public documents (ii, 1-70; vii, 1-5);
  • Aramaic writings (iv, 7-vi, 18; vii, 12-26), supposed with some probability to be a portion of "a more comprehensive history of the restored community" (Stade).
These the compiler put together into the present shape, adding, of course, now and then some remarks of his own, or some facts borrowed from sources otherwise unknown to us. This compilatory character does not, as some might believe, lessen in any way the highhistorical value of the work. True, the compiler was very likely not endowed with a keen sense of criticism, and he has indiscriminatingly transcribed side by side all his sources "as if all were alike trustworthy" (L.W. Batten); but we should not forget that he has preserved for us pages of the highest value; even those that might be deemed of inferior trustworthiness are the only documents available with which to reconstruct the history of those times; and the compiler, even from the standpoint of modern scientific research, could hardly do anything more praiseworthy than place within our reach, as he did, the sources of information at his disposal. The composition of the work has long been attributed without discussion to Esdras himself. This view, taught by the Talmud, and still admitted by scholars of goodstanding, is, however, abandoned by several modern Biblical students, who, although their opinions are widely at variance on the question of the date, fairly agree, nevertheless, that the book is later than 330 B.C.

II Esdras

See the Book of Nehemiah.

III Esdras

(Gr. Esdras A; Protestant writers, I Esdras)
Although not belonging to the Canon of the Sacred Scriptures, this book is usually found, ne prorsus intereat, in an appendix to the editions of the Vulgate. It is made up almost entirely from materials existing in canonical books. The following scheme will show sufficiently the contents and point out the canonical parallels:
  • III Esdras, i and 2 Chronicles 35, 36 — History of the Kingdom of Juda from the great Passover of Josias to the Captivity.
  • III Esdras, ii, 1-15 (Greek text, 14) and I Esdras, i — Cyrus's decree. Return of Sassabasar.
  • III Esdras, ii, 16 (Gr. 15)-31 (Gr. 25) and I Esdras, iv, 6-24 — Opposition to the rebuilding of the Temple.
  • III Esdras, iii, 1-v, 6 — Original portion. Story of the three pages. Return of Zorobabel.
  • III Esdras, v, 7-46 (Gr. 45) and I Esdras, ii — List of those returning with Zorobabel.
  • III Esdras, v, 47 (Gr. 46)-73 (Gr. 70) and I Esdras, iii, 1-iv, 5 — Altar of holocausts. Foundation of the Temple laid. Opposition.
  • III Esdras, vi, vii and I Esdras, v, vi — Completion of the Temple.
  • III Esdras, viii, 1-ix, 36 and I Esdras, vii-x — Return of Esdras.
  • III Esdras, ix, 37-56 (Gr. 55) and II Esdras, vii, 73-viii, 12 — Reading of the Law by Esdras.
The book is incomplete, and breaks off in the middle of a sentenceTrue, the Latin version completes the broken phrase of the Greek; but the book in its entirety probably contained also the narrative of the feast of Tabernacles (Nehemiah 8). A very strange feature in the work is its absolute disregard of chronological order; the history, indeed, runs directly backwards, mentioning first Artaxerxes (ii, 16-31), then Darius (iii-v, 6), finally Cyrus (v, 7-73). All this makes it difficult to detect the real object of the book and the purpose of the compiler. It has been suggested that we possess here a history of the Temple from the time of Josias down to Nehemias, and this view is well supported by the subscription of the old Latin version. Others suppose that, in the main, the book is rather an early translation of thechronicler's work, made at a time when ParalipomenonEsdras, and Neh. still formed one continuous volume. Be this as it may, there seems to have been, up to St. Jerome, some hesitation with regard to the reception of the book into the Canon; it was freely quoted by the early Fathers, and included in Origen's "Hexapla". This might be accounted for by the fact that III Esd. may be considered as another recension of canonical ScripturesUnquestionably our book cannot claim to be Esdras's work. From certain particulars, such as the close resemblance of the Greek with that of the translation of Daniel, some details of vocabulary, etc., scholars are led to believe that III Esd. was compiled, probably in Lower Egypt, during the second century B.C. Of the author nothing can be said except, perhaps, that theabove-noted resemblance of style to Dan. might incline one to conclude that both works are possibly from the same hand.

IV Esdras

Such is the title of the book in most Latin manuscripts; the (Protestant) English apocrypha, however, give it as II Esdras, from the opening words: "The second book of the prophet Esdras". Modern authors often call it the Apocalypse of Esdras. This remarkable work has not been preserved in the original Greek text; but we possess translations of it in Latin, Syriac, Arabic (two independent versions),Ethiopian, and Armenian. The Latin text is usually printed in the appendix to the editions of the Vulgate; but these editions miss seventy verses between vii, 35, and vii, 36. The missing fragment, which was read in the other versions, was discovered in a Latin manuscript by R.L. Bensly, in 1874, and has been since repeatedly printed. In the Latin the book is divided into sixteen chapters. The two opening (i, ii) and the two concluding (xv, xvi) chapters, however, which are not to be found in the Eastern translations, are unhesitatingly regarded by all as later additions, foreign to the primitive work.
The body of the Fourth Book, the unity of which appears to be unquestionable, is made up of seven visions which Esdras is supposed to have seen at Babylon, the thirtieth year after the destruction of Jerusalem (the date given is wrong by about a century).
  • In the first vision (iii, 1-v, 20), Esdras is lamenting over the affliction of his people. Why does not God fulfil his promises? Is notIsrael the elect nation, and better, despite her "evil heart", than her heathen neighbours? The angel Uriel chides Esdras for inquiring into things beyond his understanding; the "prophet" is told that the time that is past exceeds the time to come, and the signs of the end are given him.
  • In another vision (v, 21-vi, 34), he learns, with new signs of the end, why God "doeth not all at once".
  • Then follows (vi, 35-ix, 25) a glowing picture of the Messianic age. "My son" shall come in his glory, attended by those who did not taste death, Moses, Henoch, Elias, and Esdras himself; they shall reign 400 years, then "my son" and all the living shall die; after seven days of "the old silence", the Resurrection and the Judgment.
  • Next (ix, 26-x, 60) Esdras beholds, in the appearance of a woman mourning for her son who died on his wedding day, an apocalyptic description of the past and future of Jerusalem.
  • This vision is followed by another (xi, 1-xii, 39) representing the Roman Empire, under the figure of an eagle, and by a third (xiii) describing the rise of the Messianic kingdom.
  • The last chapter (xiv) narrates how Esdras restored the twenty-four books of the Old Testament that were lost, and wrote seventy books of mysteries for the wise among the people.
The Fourth Book of Esdras is reckoned among the most beautiful productions of Jewish literatureWidely known in the early Christian ages and frequently quoted by the Fathers (especially St. Ambrose), it may be said to have framed the popular belief of the Middle Agesconcerning the last things. The liturgical use shows its popularity. The second chapter has furnished the verse Requiem æternam to theOffice of the Dead (24-25), the response Lux perpetua lucebit sanctis tuis of the Office of the Martyrs during Easter time (35), the introitAccipite jucunditatem for Whit-Tuesday (36-37), the words Modo coronantur of the Office of the Apostles (45); in like manner the verseCrastine die for Christmas eve, is borrowed from xvi, 53. However beautiful and popular the book, its origin is shrouded in mystery. The introductory and concluding chapters, containing evident traces of Christianity, are assigned to the third century (about A.D. 201-268). The main portion (iii-xiv) is undoubtedly the work of a Jew — whether Roman, or Alexandrian, or Palestinian, no one can tell; as to itsdate, authors are mostly widely at variance, and all dates have been suggested, from 30 B.C. to A.D. 218; scholars, however, seem to rally more and more around the year A.D. 97.

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar