Rabu, 03 Juli 2013

Kebangkitan Badan, Pengadilan Khusus, Pengadilan Umum dan Purgatory


Kisah Para Rasul
1:6 Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?"
1:7 Jawab-Nya: "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.
1:8 Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."
1:9 Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka.
1:10 Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka,
1:11 dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."
1:12 Maka kembalilah rasul-rasul itu ke Yerusalem dari bukit yang disebut Bukit Zaitun, yang hanya seperjalanan Sabat jauhnya dari Yerusalem.
1:13 Setelah mereka tiba di kota, naiklah mereka ke ruang atas, tempat mereka menumpang. Mereka itu ialah Petrus dan Yohanes, Yakobus dan Andreas, Filipus dan Tomas, Bartolomeus dan Matius, Yakobus bin Alfeus, dan Simon orang Zelot dan Yudas bin Yakobus.
1:14 Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus.


Yesus dinantikan kedatangan-Nya kembali pada akhir zaman. Hal itu kerap kali dikatakan dalam Perjanjian Baru (lih. mis. Mat 19:28; 24:3; Mrk 13:26; 1Tes 2:19; 3:13; 4:15; 5:23; 1Kor 1:7; 15:23; 1Ptr 1:7). Doa jemaat perdana juga ditandai oleh pengharapan itu: “Amin, datanglah Tuhan Yesus” (Why 22:20; bdk. 1Kor 16:22).
Gereja perdana yakin bahwa “Kristus harus tinggal di surga sampai waktu pemulihan segala sesuatu” (Kis 3:21), tetapi pada akhir zaman Ia akan menampakkan diri. “Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Pada waktu itu pun Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat-Nya dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit” (Mrk 13:26-27; bdk: Luk 17:22-30; 21:25-36).
Khususnya dalam Injil Matius kedatangan Anak Manusia pada akhir zaman (Mat 24:26-31) dikembangkan menjadi gambaran pengadilan terakhir (Mat 25:31-46), dan dengan banyak perumpamaan ditegaskan bahwa orang harus siap (lih. Mat 24:32-51; 25:1-30). Dalam Perjanjian Lama sudah disebut “hari Tuhan” (mis. Am 5:18- 10; Zef 1:14). Dalam Perjanjian Baru hari itu disebut “hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1Kor 1:8; Flp 1:6; bdk. 1Tes 5:2). Yang dimaksud ialah “hari, bilamana Allah akan menghakimi segala sesuatu oleh Kristus Yesus” (Rm 2:16): “Kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus” (2Kor 5:10; bdk. Rm 14:10). Semua itu dirangkum dalam syahadat: “Ia akan kembali [dengan mulia], mengadili orang yang hidup dan yang mati”.

Dalam Why 20:2 dikatakan bahwa setan diikat untuk 1000 tahun, dan selanjutnya dalam ay. 5 dikatakan “Orang-orang mati tidak bangkit sebelum berakhir masa 1000 tahun itu”. Dari teks itu, berulang kali dalam sejarah Gereja timbul pandangan yang disebut khiliasme (bahasa Yunani, khilias = 1000), mulai dengan Montanisme (abad ke-2) sampai dengan kaum Adventis dan saksi Yehova. Ajaran mereka ialah bahwa kedatangan Kristus dalam kemuliaan akan terjadi sesudah Kristus meraja di dunia selama ± 1000 tahun. Ada orang lain yang mengajarkan bahwa sekarang sudah ada kerajaan 1000 tahun itu, dan bahwa akhir zaman akan datang dengan segera. Yang paling penting ialah bahwa dalam pengharapan mereka tekanan tidak ada pada pribadi Kristus, tetapi pada kemuliaan kerajaan-Nya, yang tentu juga akan dinikmati oleh para pengikut-Nya. Yesus dengan jelas mengatakan bahwa “tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu” (Mrk 13:32). Dengan demikian, semua pikiran dan teori mengenai akhir zaman sebetulnya tidak punya dasar dan terutama tidak berguna. Yang baik dalam teori-teori ini ialah bahwa Kerajaan Kristus sekarang ini sudah mulai dilaksanakan. Hanya saja cara penggambarannya sering bersifat fantastis.
Mengenai pengadilan seharusnya dibedakan dua tema:
  1. Allah atau Kristus yang menghakimi; dan 
  2. manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya.
Gagasan yang pertama sebetulnya berasal dari pandangan Israel bahwa Tuhan membela bangsa-Nya dan akan menghukum musuh-musuhnya. “Dialah yang menghakimi dunia dengan keadilan dan mengadili bangsa-bangsa dengan kebenaran” (Mzm 9:9). Kemudian gagasan itu juga dikenakan pada Israel sendiri (lih. mis. Am 3:2), dan dalam Perjanjian Baru juga pada Gereja (Mat 25:31-46; Why 20:11-15). Tetapi dalam Perjanjian Baru semakin ditonjolkan tema yang kedua, yaitu tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya (lih. mis. Luk 16:19-31). Lebih khusus dikatakan bahwa orang diadili menurut sikap yang diambil terhadap Yesus di dunia ini (lih. mis, Yoh 15:22; 9:39-41).
Namun pengadilan tidak boleh dilihat sebagai semacam “balas dendam”, bahkan tidak sebagai “balas jasa”. Lebih tepat kalau pengadilan dilihat sebagai penampilan manusia di muka umum dalam keadaannya yang sesungguhnya. Pengadilan berarti bahwa manusia berhadapan dengan Allah, yang tidak dapat ditipu. Kapan dan di mana manusia berkonfrontasi seperti itu dengan Allah, tidak dikatakan. Bahkan Injil Yohanes memberi kesan, seolah-olah pengadilan itu sudah terjadi di dunia ini: “Barangsiapa mendengarkan perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yoh 5:24; lih. 12:31; 16:8). Tetapi pada umumnya diterima bahwa kematian itu saat ketika manusia sungguh berhadapan muka dengan Allah, dan perbedaan antara “pengadilan perseorangan” dan “pengadilan umum” tidak boleh terlampau dipentingkan.

Memang kedua hal itu tidak tepat sama, sebab dalam diri manusia sendiri harus dibedakan pusat kepribadian rohani dan keterlibatan dalam dunia material melalui tubuh. Karena ketegangan antara jiwa dan badan, yang juga dapat disebut pertentangan antara aktivitas dan pasivitas manusia, kiranya perlu dibedakan pengadilan perseorangan dan pengadilan umum. Dalam penampilan manusia di hadapan Allah, yang berarti penampilan manusia menurut bobot dan nilai yang sesungguhnya, perlu dibedakan (tetapi tidak dipisahkan) segi pribadi-rohani dan segi kosmis-sosial. Kedua segi kehidupan manusia mempunyai arti dalam penampilannya di hadapan Allah. Maka pengadilan perseorangan tidak boleh ditonjolkan sedemikian rupa, sehingga pengadilan umum hanya menjadi semacam “tontonan” pada akhir zaman. Tetapi meleburkan manusia dalam sejarah dunia dan tidak memperhatikan segi pribadinya, juga tidak melihat manusia secara utuh dan penuh. Lebih baik pengadilan perseorangan dan pengadilan umum dilihat sebagai dua aspek dari satu pengadilan, dan oleh karenanya kedua hal itu tidak boleh terlampau dipisahkan. Pandangan bahwa pengadilan perorangan terjadi pada akhir sejarah perorangan, dan pengadilan umum pada akhir sejarah dunia, kiranya kurang tepat. “Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari” (2Ptr 3:8). Di hadapan Tuhan perkembangan waktu sudah tidak ada artinya lagi.
Lukisan pengadilan umum dalam Kitab Suci lebih dimaksudkan untuk menggambarkan kemuliaan Kristus daripada nasib manusia. Nasib manusia ditentukan oleh sikapnya terhadap wahyu Allah dalam diri Yesus: “Barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusia akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat yang kudus” (Mrk 8:38).

Di dalam buku The Catechism Explained -An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, karangan Spirago- Clarke, hal. 256 disebutkan bahwa segera setelah kematian, maka jiwa kita akan diadili, yang dikenal dengan sebutan  Particular Judgment (Pengadilan Khusus). Pengajaran ini sesuai dengan ajaran St. Agustinus, yang mengatakan “Begitu jiwa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili“. Hal ini sesuai juga dengan pengajaran di Alkitab, seperti yang kita lihat pada kisah yang dialami oleh Lazarus dan orang kaya itu setelah kematian mereka (lih. Luk 16:16-31). Rasul Paulus mengajarkan, “…manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2). Kita akan diadili oleh Tuhan menurut perbuatan kita (1 Pet 1:17, Rom 2:6). Jika Tuhan sendiri mengajarkan bahwa gaji pekerja tidak boleh ditunda (lih Im 19:13), maka Ia sendiri pasti memenuhi peraturan tersebut, dan Ia akan memberi penghargaan kepada mereka yang telah melakukan tugasnya di dunia dengan setia seturut perintah-perintah-Nya. Maka seperti kata St. Ambrosius, “Kematian adalah penghargaan perbuatan baik, mahkota dari panen.”
Tuhan Yesus akan duduk sebagai Hakim (lih. Yoh 5:22). Pada Perjamuan Terakhir, Yesus berjanji kepada para rasul-Nya untuk datang kembali setelah kenaikan-Nya ke surga dan untuk membawa mereka kepada diri-Nya (lih. Yoh 14:3).
Setelah dihakimi secara pribadi oleh Tuhan Yesus, maka jiwa orang yang meninggal akan ditentukan masuk surga (jika ia sempurna), atau masuk neraka (jika ia meninggal dalam keadaan berdosa berat dan tidak bertobat ), atau masuk Api Penyucian (jika ia meninggal dalam keadaan berdamai dengan Allah, namun masih harus dimurnikan terlebih dahulu).
Maka, Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam Penghakiman setelah kematian. Yang pertama adalah Pengadilan Khusus (Particular Judgment) yang diadakan sesaat setelah kematian, dan yang kedua adalah Pengadilan Umum (General Judgment) yang diadakan pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan.  Pada ‘Particular judgment’ (pengadilan khusus), yaitu kita masing-masing diadili secara pribadi oleh Yesus Kristus; dan kedua adalah ‘general/ last judgment’ (pengadilan umum/ terakhir), yaitu pada akhir zaman, saat kita diadili oleh Yesus Kristus di hadapan semua manusia. Setelah Pengadilan Khusus itu, kita sudah ditentukan, apakah jiwa kita masuk surga, atau neraka, ataukah masih perlu dimurnikan dahulu dalam Api Penyucian. Penentuan dalam Pengadilan Khusus ini dilakukan oleh Tuhan Yesus, dan tidak dapat diubah/ ditarik kembali.
Sedangkan pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan, kita (jiwa dan badan) akan diadili dalam Pengadilan Umum/ Terakhir. Pengadilan ini tidak lagi bersifat pribadi antara kita dengan Yesus, namun diadakan di hadapan semua orang. Pada saat inilah segala perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di hadapan semua mahluk, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan domba dan kambing (lih. Mat 25: 32-33). Pengadilan ini merupakan semacam ‘pengumuman’ hasil Pengadilan Khusus tiap-tiap orang di hadapan segala ciptaan yang lain. Hasil Pengadilan itu akan membawa penghargaan ataupun penghukuman, bagi jiwa dan badan. Tubuh dan jiwa manusia bersatu di Surga, apabila ia memang layak menerima ‘penghargaan’ tersebut; inilah yang disebut sebagai kebahagiaan sempurna dan kekal di dalam Tuhan. Atau sebaliknya, tubuh dan jiwa manusia masuk ke neraka, jika keadilan Tuhan menentukan demikian, sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri; inilah yang disebut sebagai siksa kekal. Setelah akhir jaman, yang ada tinggal Surga dan Neraka, tidak ada lagi Api Penyucian, sebab semua yang ada di dalam Api Penyucian akan beralih ke Surga.
Mungkin ada orang bertanya, apa gunanya Penghakiman Terakhir, jika jiwa-jiwa sudah berada di surga setelah menyelesaikan pemurnian di Api Penyucian?
Penghakiman Terakhir diadakan setelah kebangkitan badan. Dalam Pengadilan Terakhir, setiap orang akan diadili di hadapan semua ciptaan, sehingga segala perbuatan baik akan diumumkan di hadapan semua mahluk, demikian juga perbuatan yang jahat.  Tuhan Yesus akan duduk sebagai hakim yang mengadili semua orang, dan pengadilan ini dimaksudkan untuk menyatakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan kepada semua ciptaan. Jadi tidak ada lagi segala sesuatu yang ‘relatif’ di sini. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, dan ini berlaku pada semua orang. Orang-orang yang baik mendapat penghargaan di hadapan semua ciptaan, dan sebaliknya, orang-orang yang jahat menerima hukuman di hadapan semua. Penghakiman ini merupakan pengulangan pengadilan khusus di hadapan semua mahluk, dan pengulangan sejarah dunia, di mana semua kejadian akan ditampilkan di hadapan semua orang, dan pada saat itu tidak ada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak akan dinyatakan (lih. Mat 10: 26-27, Luk 8:17). Maka Penghakiman Terakhir merupakan momen yang penting, yang menjadi dasar pengharapan Kristiani (seperti yang diungkapkan oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya Spe Salvi/  Diselamatkan di dalam Pengharapan, 44). Sebab pada saat Penghakiman Terakhir pengorbanan para martir dan orang benar akan mendapat penghargaan. Orang-orang yang jahat akan memandang orang-orang yang baik dan berkata dengan menyesal, “Dia itulah yang dahulu menjadi tertawaan kita, dan buah cercaan kita ini, orang-orang yang bodoh… ia terbilang di antara anak-anak Allah dan bagiannya terdapat di antara para kudus… Kita inilah yang tersesat dari jalan kebenaran dan cahaya kebenaran tidak menerangi kita…” (Kebj 5:3-6).
Setelah Pengadilan Terakhir ini, tidak ada lagi Api Penyucian. Dan karena seluruh semesta alam akan dihancurkan dengan api pada akhir jaman, maka orang-orang yang baik/ benar dapat masuk surga jiwa dan badannya setelah melalui api itu, seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego (lih. Dan 3:1-30), tanpa terbakar. Sedang mereka yang jahat akan masuk neraka, jiwa dan badannya. Persatuan jiwa dan badan di surga inilah yang disebut sebagai kesempurnaan kebahagiaan kekal, dan sebaliknya, yang di neraka sebagai siksa kekal yang tak terlukiskan.
Maka perbedaan antara Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum pada akhir jaman ini adalah, pada Pengadilan Khusus, yang diadili adalah jiwa manusia, sehingga setelah mendapat keputusan (surga, neraka, atau api penyucian), yang masuk ke dalamnya hanya jiwa saja. Sedangkan sesudah Pengadilan Terakhir, yaitu setelah kebangkitan badan, maka tubuh manusia akan bersatu dengan jiwanya, dan keduanya akan masuk kedalam kebahagiaan abadi (Surga), ataupun siksa abadi (neraka). Pengadilan Khusus bersifat pribadi, antara yang meninggal dengan Kristus, sedangkan Pengadilan Umum diadakan di hadapan semua orang.

Katekismus Gereja Katolik menjelaskan arti perkataan Credo bahwa Yesus akan ….”mengadili orang yang hidup dan yang mati….”, sebagai berikut:

KGK 678 Seperti para nabi (Bdk. Ul 7:10. Yl 3-4; Mal 3:19) dan Yohanes Pembaptis (Bdk. Mat 3:7-12), Yesus pun mengumumkan pengadilan pada hari terakhir dalam khotbah-Nya. Di sana akan disingkapkan tingkah laku (Bdk. Mrk 12:38-40) dan isi hati yang paling rahasia dari setiap orang (Bdk. Luk 12:1-3; Yoh 3:20-21; Rm 2:16; 1Kor 4:5). Lalu ketidak-percayaan orang berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah, akan diadili (Bdk. Mat 11:20-24; 12:41-42). Sikap terhadap sesama akan menunjukkan, apakah orang menerima atau menolak rahmat dan cinta Allah (Bdk. Mat 5:22; 7:1-5). Yesus akan mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

KGK 679 Kristus adalah Tuhan kehidupan abadi. Sebagai Penebus dunia, Kristus mempunyai hak penuh untuk mengadili pekerjaan dan hati manusia secara definitif. Ia telah “mendapatkan” hak ini oleh kematian-Nya di salib. Karena itu, Bapa “menyerahkan seluruh pengadilan kepada Putera-Nya” (Yoh 5:22, Bdk. Yoh 5:27; Mat 25:31; Kis 10:41; 17:31; 2 Tim 4:1). Akan tetapi, Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk menyelamatkan (Bdk. Yoh 3:17) dan untuk memberikan kehidupan yang ada pada-Nya (Bdk. Yoh 5:26). Barang siapa menolak rahmat dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri (Bdk. Yoh 3:18; 12:48). Setiap orang menerima ganjaran atau menderita kerugian sesuai dengan pekerjaannya (Bdk. 1 Kor 3:12-15) ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk keabadian, kalau ia tidak mau tahu (Bdk. Mat 12:32; Ibr 6:4-6; 10:26-31) tentang cinta.

KGK 681 Pada hari pengadilan, pada hari kiamat, Kristus akan datang dalam kemuliaan-Nya, untuk menentukan kemenangan kebaikan secara definitif atas kejahatan, yang dalam perjalanan sejarah hidup berdampingan bagaikan gandum dan rumput di ladang yang sama.

KGK 682 Kalau Ia datang pada akhir zaman untuk mengadili orang hidup dan orang mati, Kristus yang dimuliakan akan menyingkapkan isi hati yang terdalam dan akan membalas setiap manusia sesuai dengan pekerjaannya, tergantung pada, apakah ia menerima rahmat Tuhan atau menolaknya.




APA ITU SURGA? Paus Yohanes Paulus II mengatakan kepada kita bahwa seharusnya kita tidak menganggap surga sebagai suatu “tempat”. Bukan maksud Bapa Suci mengatakan bahwa surga itu tidak ada, tetapi ia bermaksud untuk mengatakan bahwa surga bukanlah suatu tempat fisik seperti anggapan banyak orang.

Cara yang lebih baik untuk menggambarkan surga adalah ia itu seseorang. Seseorang itu adalah Bapa. Tuhan mengundang kita untuk berada bersama-Nya dalam kebahagiaan abadi.

Pernahkah kamu memperhatikan bahwa jika kamu sedang bersama dengan seseorang yang mencintaimu dan yang kamu cintai, tidak jadi masalah kalian berada di mana? Kebersamaan itu sendiri adalah sesuatu yang indah serta menyenangkan.

Bukan dinding serta dekorasinya yang membuat suatu bangungan menjadi rumah. Istana yang paling indah pun dapat menjadi “neraka” jika mereka yang tinggal di dalamnya saling membenci. Suatu bilik sederhana dapat menjadi “surga” jika mereka yang tinggal di dalamnya saling mengasihi.

Daripada bertanya seperti apakah surga itu, sebaiknya kita bertanya seperti apakah Tuhan itu? Tuhan adalah Bapa yang Pengasih, seorang Sahabat, seorang yang Sangat Mengasihimu sebagai suatu pribadi. Tuhan akan melakukan apa saja agar kita aman dan bahagia.

Secara sederhana, Tuhan adalah pribadi yang paling keren. Memang bukan suatu istilah yang tepat, tetapi Allah itu sungguh amat baik.


 Api Penyucian
APA ITU API PENYUCIAN? Dalam salah satu audiensinya Bapa Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa api penyucian adalah keadaan yang kita alami setelah kita meninggal di mana kita dibersihkan dari segala noda dosa sebelum akhirnya diperkenankan masuk ke dalam surga. Bapa Suci menambahkan bahwa setiap orang yang hidupnya belum sempurna tetapi diperkenankan masuk ke surga harus terlebih dahulu tinggal dalam api penyucian.  "Sebelum kita masuk dalam Kerajaan Allah, setiap noda dosa dalam diri kita harus dibersihkan, setiap cacat dalam jiwa kita harus disempurnakan. Itulah sesungguhnya yang terjadi di api penyucian,” kata Bapa Suci.

Paus melanjutkan bahwa api penyucian juga bukan merupakan suatu tempat, "Api penyucian tidak menunjuk pada suatu tempat, melainkan suatu kondisi kehidupan. Mereka yang, setelah meninggal, tinggal dalam keadaan penyucian telah dibenamkan dalam kasih Kristus, yang akan mengangkat mereka dari sisa-sisa ketidaksempurnaan."

Kemudian Paus mendorong umat Kristen untuk berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik demi jiwa-jiwa di api penyucian.
 Api Penyucian
MENGAPA KITA MEMERLUKAN API PENYUCIAN? Saudara-saudari kita kaum Protestan bersikeras bahwa hanya ada dua pilihan setelah kita meninggal dunia, yaitu: Surga atau Neraka. Sementara umat Katolik percaya bahwa ada pilihan lain sesudah kita meninggal, pilihan yang membuat kita amat bersyukur yaitu: Api Penyucian. Akan sangat mengerikan sekali jika kita hanya dihadapkan pada dua pilihan saja: Surga dan Neraka, sebab jarang sekali ada orang yang demikian kudus hidupnya sehingga dapat langsung masuk ke surga. Oleh karena Belas Kasihan Allah kepada umat manusia maka kita diberi kesempatan untuk memurnikan diri sebelum masuk ke surga yaitu melalui api penyucian.

Untuk mempermudah pemahaman kita, mari kita menggunakan suatu perumpamaan. Coba bayangkan: kalian diundang untuk menghadiri suatu pesta yang agung. Setiap orang yang hadir mengenakan pakaian serta gaun mereka yang terindah, rambut mereka tertata rapi, dan tubuh mereka bersih serta harum. Tuan rumah membuka pintu dan mempersilakan kalian masuk. Tetapi kalian berdiri di depan pintu dengan pakaian gembel yang bau, rambut kalian acak-acakan, tubuh kalian dekil dan perlu dibersihkan. Apakah kalian akan masuk ke dalam ruang pesta?

Jika kalian bersikeras bahwa api penyucian itu tidak ada, saya akan bertanya: Apa yang membuat kalian yakin bahwa kalian benar-benar bersih dan tanpa noda dosa pada saat kalian meninggal dan dihadapkan ke pengadilan akhir? Bukankah kita semua orang berdosa, yang setiap hari terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil yang hanya tampak oleh Allah saja? Oleh karena itu bersukacitalah atas api penyucian di mana kita dapat membersihkan diri kita dari segala dosa sebelum memasuki kemuliaan surgawi yang abadi!
Api Penyucian memang secara spiritual amat menyakitkan sebab jiwa-jiwa yang tinggal di sana sangat ingin berada bersama dengan Allah, tetapi tidak bisa. Pada saat yang sama dalam api penyucian ada sukacita besar sebab jiwa-jiwa yang tinggal di sana percaya bahwa setelah masa tinggal mereka di api penyucian berakhir, maka mereka pasti diperkenankan masuk ke dalam surga.


 Api Penyucian
BAGAIMANA KITA BERDOA BAGI MEREKA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA? Hal paling ampuh yang dapat kita lakukan ialah mengadakan Misa untuk Jiwa-jiwa di Api Penyucian, atau mohon intensi misa (intensi misa = ujub Misa yang terkadang diminta oleh umat) bagi jiwa seseorang yang telah meninggal dunia. Devosi lain yang amat bermanfaat ialah Doa Rosario dan Jalan Salib demi jiwa-jiwa menderita tersebut. Kita juga dapat melakukan matiraga. Semua matiraga kita, bahkan matiraga yang terkecil sekali pun, kita persatukan dengan penderitaan Yesus dan kita persembahkan ke dalam tangan kasih Bunda Maria demi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian. Indulgensi (indulgensi = pengampunan/ penghapusan hukuman dosa di api penyucian) juga berlaku bagi mereka yang telah meninggal dunia. Jadi ingatlah untuk senantiasa berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik demi jiwa-jiwa tersebut.

Sebuah buletin berjudul “The Holy Souls Will Repay Us a Thousand Times Over"(Jiwa-jiwa Akan Membalas Kita Seribu Kali Lipat), mengatakan, “Ketika pada akhirnya jiwa-jiwa di api penyucian telah terbebas dari penderitaan mereka dan menikmati sukacita surgawi, mereka tidak akan melupakan saudara-saudarinya yang masih ada di dunia. Ungkapan rasa terima kasih mereka tidak mengenal batas. Sujud menyembah di hadapan Tahta Allah, mereka tak henti-hentinya berdoa bagi saudara-saudarinya yang telah mendoakannya. Dengan doa-doanya, jiwa-jiwa itu melindungi saudara-saudarinya dari mara bahaya serta dari segala kejahatan yang mengancam. Dan kelak, ketika saudara-saudarinya itu tiba di api penyucian, jiwa-jiwa itu akan mendoakan mereka sehingga masa tinggal mereka di api penyucian dapat dipercepat dan diperingan atau bahkan mereka dapat memperoleh pengampunan SEUTUHNYA.”

"Yesus, Maria, aku mengasihi-Mu, selamatkanlah jiwa-jiwa."

Surga, Neraka dan Api Penyucian
oleh: Paus Yohanes Paulus II
Dalam tiga audiensinya yang kontroversial, Bapa Suci Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa karakteristik utama dari surga, neraka ataupun api penyucian adalah bahwa ketiganya lebih merupakan keadaan makhluk rohani (malaikat / iblis) atau jiwa manusia, daripada tempat, seperti yang pada umumnya dimengerti dan digambarkan dalam bahasa manusia. Istilah `tempat', menurut Paus, kurang sesuai untuk menggambarkan realitas sebenarnya, karena tempat terikat pada keadaan duniawi di mana dunia ini dan kita berada. Dalam hal ini beliau mempergunakan kategori-kategori filsafat yang dipergunakan Gereja dalam teologinya dan mengatakan apa yang dikatakan St Thomas Aquinas jauh sebelumnya.

“Makhluk-makhluk rohani tidak berada di suatu tempat seperti yang kita ketahui atau kita kenal, sebagaimana kita dapat mengatakan bahwa tubuh manusia ada di sini atau di sana; tetapi keberadaan mereka sesuai bagi kodrat rohani, yang tak dapat sepenuhnya diungkapkan kepada kita.” [St Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Supplement, Q69, a1, reply 1]


Surga adalah Persekutuan Penuh dengan Tuhan

Surga sebagai persekutuan penuh dengan Tuhan adalah tema katekese Bapa Suci pada Audiensi Umum tanggal 21 Juli 1999. Surga “bukanlah suatu tempat abstrak ataupun fisik di awan-awan, melainkan suatu hubungan pribadi yang hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa yang terjadi dalam Kristus yang bangkit melalui persekutuan Roh Kudus,” demikian kata Paus.

1.  Ketika tubuh duniawi ini berakhir, mereka yang menyambut Tuhan dalam hidup mereka dan dengan tulus hati membuka diri terhadap kasih-Nya, setidak-tidaknya pada saat ajal, akan menikmati persekutuan penuh dengan Tuhan yang adalah tujuan hidup manusia.

Seperti diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik, “Kehidupan yang sempurna bersama Tritunggal Mahakudus ini, persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah, bersama Perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus, dinamakan `surga'. Surga adalah tujuan terakhir dan pemenuhan kerinduan terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan definitif.” (no. 1024)

Pada hari ini kita akan berusaha memahami arti biblis dari “surga”, guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan realitas yang dimaksudkan di dalamnya.

2. Dalam bahasa biblis “surga” atau terkadang disebut “langit”, apabila dipadukan dengan “bumi”, menyatakan bagian dari alam semesta. Kitab Suci mencatat tentang penciptaan, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1).

Surga adalah Tempat Kediaman Allah yang Hidup

Dalam bahasa kiasan, “surga / langit” dimengerti sebagai tempat kediaman Allah, yang dengan demikian berbeda dari manusia (bdk. Mzm 104:2dst; 115:16; Yes 66:1). Allah melihat dan mengadili dari ketinggian langit (bdk. Mzm 113:4-9) dan turun apabila orang berseru kepada-Nya (bdk. Mzm 18:10, 11; 144:5). Namun demikian, kiasan biblis menjadikan jelas bahwa Tuhan tidak mengidentifikasikan Diri-Nya sebagai surga / langit, ataupun Ia termuat di dalamnya (bdk. 1Raj 8:27); dan memang benarlah demikian, meskipun dalam beberapa ayat dalam Kitab Pertama Makabe “surga” merupakan salah satu nama bagi Tuhan (1Mak 3:18, 19, 50, 60; 4:24,55).

Gambaran surga sebagai tempat kediaman mengagumkan dari Allah yang hidup dihubungkan dengan tempat di mana umat beriman, melalui rahmat Tuhan, dapat juga naik, seperti kita lihat dalam Perjanjian Lama tentang kisah Henokh (bdk. Kej 5:24) dan kisah Elia (bdk 2Raj 2:11). Dengan demikian, surga menjadi suatu gambaran akan hidup dalam Tuhan. Mengenai hal ini, Yesus berbicara tentang “upah di sorga” (Mat 5:12) dan mendorong kita untuk “mengumpulkan harta di surga” (Mat 6:20; 19:21).

3. Perjanjian Baru mempertegas gagasan akan surga dalam hubungannya dengan misteri Kristus. Guna menunjukkan bahwa kurban Sang Penebus memiliki nilai yang sempurna dan definitif, Surat kepada Jemaat di Ibrani mengatakan bahwa Yesus “telah melintasi semua langit” (Ibr 4:14), dan “bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri” (Ibr 9:24). Karena umat beriman dikasihi secara istimewa oleh Bapa, mereka diangkat bersama Kristus dan dijadikan warga surgawi. Pantaslah kita mendengarkan apa yang dikatakan Rasul Paulus kepada kita tentang hal ini dalam suatu ayat yang sangat mantap, “Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita --oleh kasih karunia kamu diselamatkan-- dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef 2:4-7). Kebapaan Allah, yang kaya dengan belas kasih, dialami makhluk ciptaan melalui kasih Putra Allah yang disalibkan dan bangkit, yang duduk di surga di sebelah kanan Bapa sebagai Raja.

4. Setelah masa hidup kita di dunia, partisipasi dalam persekutuan penuh dengan Bapa menjadi nyata melalui keikutsertaan kita dalam misteri paskah Kristus. St. Paulus menekankan perjumpaan kita dengan Kristus di surga pada akhir jaman dengan suatu gambaran tempat yang jelas, “sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” (1Tes 4:17-18).

Kehidupan Sakramental Merupakan Antisipasi Surga

Dalam konteks Wahyu, kita tahu bahwa “surga” atau “kebahagiaan” yang akan menjadi milik kita bukan merupakan suatu tempat abstrak ataupun fisik di awan-awan, melainkan suatu hubungan pribadi yang hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa yang terjadi dalam Kristus yang bangkit melalui persekutuan Roh Kudus.

Senantiasa penting untuk menjaga batasan tertentu dalam menjabarkan “realitas-realitas pokok” ini sebab gambaran tentangnya senantiasa tak memuaskan. Sekarang, ahli bahasa dengan lebih tepat menggambarkan keadaan bahagia dan damai yang akan kita nikmati dalam persekutuan definitif kita dengan Tuhan.

Katekismus Gereja Katolik meringkas ajaran Gereja akan kebenaran ini, “Oleh kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus Kristus telah `membuka' surga bagi kita. Kehidupan orang bahagia berarti memiliki secara penuh buah penebusan oleh Kristus. Ia mengundang mereka, yang selalu percaya kepada-Nya dan tetap setia kepada kehendak-Nya, mengambil bagian dalam kemuliaan surgawi-Nya. Surga adalah persekutuan bahagia dari semua mereka yang bergabung sepenuhnya dengan Dia” (no. 1026).

5. Akan tetapi, keadaan akhir ini dapat diantisipasi dengan suatu cara sekarang ini melalui kehidupan sakramental, yang pusatnya adalah Ekaristi, dan melalui rahmat pribadi lewat belas kasih persaudaraan. Jika kita dapat menikmati secara pantas hal-hal baik yang Tuhan limpahkan kepada kita setiap hari, kita telah memulai pengalaman akan sukacita dan damai itu yang suatu hari kelak akan sepenuhnya menjadi milik kita. Kita tahu bahwa di dunia ini segala sesuatu ada batasnya, tetapi pemikiran akan realitas-realitas yang “pokok” akan membantu kita untuk menghayati dengan lebih baik realitas-realitas sebelum keadaan akhir tersebut. Kita tahu bahwa sementara kita melewatkan hidup di dunia ini, kita dipanggil untuk mencari “perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol 3:1), agar dapat bersama-Nya dalam kepenuhan akhirat, ketika Roh Kudus akan mendamaikan sepenuhnya dengan Bapa “segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga” (Kol 1:20).


Neraka adalah Keadaan Mereka yang Menolak Tuhan

Dalam Audiensi Umum pada hari Rabu, 28 Juli 1999, Bapa Suci merefleksikan neraka sebagai penolakan definitif terhadap Tuhan. Dalam katekesenya, Paus mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam menafsirkan secara tepat gambaran-gambaran akan neraka dalam Kitab Suci. Selanjutnya, beliau menjeaskan bahwa “neraka merupakan konsekuensi pokok dari dosa itu sendiri…. Daripada tempat, neraka lebih menyatakan keadaan mereka yang secara bebas dan definitif memisahkan diri dari Tuhan, sumber dari segala kehidupan dan kebahagiaan.”

1. Tuhan adalah Bapa yang mahabaik dan belas kasihan-Nya tak terbatas. Tetapi manusia, yang dipanggil untuk menanggapi kasih-Nya secara bebas, sayangnya dapat memilih untuk menolak kasih dan pengampunan-Nya sekali untuk selama-lamanya, dengan demikian memisahkan diri selamanya dari persekutuan bahagia dengan-Nya. Situasi tragis inilah yang dijelaskan ajaran kristiani ketika Gereja berbicara mengenai siksa abadi atau neraka. Neraka bukanlah suatu penghukuman yang ditetapkan secara sepihak oleh Tuhan, melainkan kelanjutan dari penolakan yang dilakukan manusia semasa hidupnya. Dahsyatnya ketidakbahagiaan yang terjadi akibat kondisi yang tak kita pahami ini, dengan suatu cara dapat dimengerti dalam terang pengalaman-pengalaman buruk yang kita alami, yang biasa disebut sebagai hidup dalam “neraka”.

Namun demikian, dalam arti teologis, neraka merupakan sesuatu yang lain: yaitu konsekuensi pokok dari dosa itu sendiri, yang berbalik melawan orang yang melakukannya. Neraka adalah keadaan mereka yang secara definitif menolak belas kasih Bapa, bahkan pada saat akhir hidup mereka.

Neraka adalah Keadaan Siksa Abadi

2. Guna menggambarkan realitas ini, Kitab Suci mempergunakan bahasa simbolik yang secara perlahan-lahan akan dijelaskan kemudian. Dalam Perjanjian Lama, kondisi mereka yang meninggal belum sepenuhnya diungkapkan dengan Wahyu. Lagipula, dianggap bahwa mereka yang meninggal dihimpun dalam Sheol, suatu daerah kegelapan (bdk Yeh 28:8; 31:14; Ayb 10:21-22; 38:17; Mzm 30:10; 88:7,13), suatu jurang di mana tak seorang pun dapat naik (bdk. Ayb 7:9), suatu tempat di mana tak mungkin memuliakan Allah (bdk. Yes 38:18; Mzm 6:6).

Perjanjian Baru memberi terang baru pada kondisi mereka yang meninggal, mewartakan di atas segalanya bahwa Kristus dengan kebangkitan-Nya telah mengalahkan maut dan meluaskan kuasa-Nya hingga ke kerajaan maut.

Namun demikian, Penebusan tetap merupakan suatu tawaran keselamatan yang adalah merupakan pilihan bebas manusia untuk menerimanya. Itulah sebabnya mengapa mereka semua akan dihakimi “menurut perbuatannya” (Why 20:13). Dengan menggunakan gambaran-gambaran, Perjanjian Baru menghadirkan tempat yang ditetapkan bagi mereka yang jahat sebagai api yang bernyala-nyala, di mana akan terdapat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat 13:42; bdk. 25:30, 41), atau seperti Gehenna dengan “api yang tak terpadamkan” (Mrk 9:43). Semuanya ini dikisahkan dalam perumpamaan tentang orang kaya, di mana dijelaskan bahwa neraka merupakan suatu tempat siksa abadi, tanpa kemungkinan untuk kembali, ataupun mendapatkan keringanan atas sengsara mereka (Luk 16:19-31).

Kitab Wahyu juga secara simbolik menggambarkan suatu “lautan api” di mana mereka yang memisahkan diri dari kitab kehidupan akan menemui “kematian yang kedua” (Why 20:13 dst). Oleh sebab itu, mereka yang terus menutup diri terhadap Injil mempersiapkan bagi dirinya sendiri “kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya” (2Tes 1:9).

3. Gambaran akan neraka yang dihadirkan Kitab Suci bagi kita haruslah ditafsirkan secara benar. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan keputusasaan yang ngeri dan kehampaan hidup tanpa Tuhan. Daripada* tempat, neraka lebih menyatakan keadaan mereka yang secara bebas dan definitif memisahkan diri dari Tuhan, sumber segala kehidupan dan kebahagiaan. Katekismus Gereja Katolik meringkas kebenaran iman ini, “Mati dalam dosa berat, tanpa menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelaskasihan, berarti tinggal terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara bebas. Keadaan pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus ini, dinamakan `neraka'” (no. 1033).

Karenanya, “siksa abadi” tidak berasal dari kehendak Allah, sebab dalam cinta-Nya yang berbelas kasihan, Ia hanya menghendaki keselamatan dari makhluk-makhuk yang diciptakan-Nya. Dalam kenyataannya, makhluk ciptaan itu sendirilah yang menutup diri terhadap kasih-Nya. Kutuk secara tepat merupakan perpisahan definitif dari Tuhan, yang dipilih manusia secara bebas dan dipertegas dengan kematiannya yang memeteraikan pilihannya untuk selamanya. Pengadilan Tuhan mengesahkan keadaan ini.

Kita diselamatkan dari neraka oleh Yesus yang mengalahkan Setan

4. Iman Kristiani mengajarkan bahwa dalam mengambil resiko mengatakan “ya” atau “tidak”, yang menandai kebebasan makhluk ciptaan, sebagian ciptaan telah mengatakan tidak. Mereka adalah makhluk-makhluk rohani yang berontak melawan kasih Allah dan disebut setan (bdk. Konsili Lateran IV, DS 800-801). Apa yang terjadi terhadap mereka merupakan peringatan bagi kita: suatu panggilan terus-menerus untuk menghindari tragedi yang menghantar kepada dosa dan menyesuaikan hidup kita dengan hidup Yesus yang menghayati hidup-Nya dengan suatu jawaban “ya” terhadap Tuhan.

Siksa abadi tetap merupakan suatu kemungkinan yang nyata, namun demikian kita tidak dianugerahi, tanpa wahyu Ilahi khusus, pengetahuan apakah seseorang atau orang manakah yang terlibat secara efektif di dalamnya. Pemikiran tentang neraka - dan bahkan tanpa penggunaan gambar-gambar biblis yang kurang sesuai - janganlah sampai menimbulkan kecemasan ataupun keputusasaan, melainkan sebagai suatu pengingat yang penting dan sehat akan kebebasan, dalam mewartakan bahwa Kristus yang bangkit telah mengalahkan setan dan menganugerahkan kepada kita Roh Allah yang memungkinkan kita berseru, “ya Abba, ya Bapa!” (Rm 8:15; Gal 4:6).

Gagasan ini, yang kaya akan pengharapan, berlaku dalam pewartaan kristiani dan secara efektif direfleksikan dalam tradisi liturgi Gereja seperti ditegaskan dalam kata-kata Kanon Romawi ini, “Terimalah dengan rela persembahan umat-Mu. Bimbinglah jalan hidup kami, dan selamatkanlah kami dari hukuman abadi agar tetap menjadi umat kesayangan-Mu.”

* [Catatan: dalam bahasa aslinya, Italia, disebutkan “(Più che) Daripada tempat, neraka lebih menyatakan …” Pernyataan ini mengemukakan dengan tepat bahwa meskipun neraka pada dasarnya bukanlah “suatu tempat”, melainkan lebih merupakan kehilangan Allah secara definitif, tercakup juga di dalamnya kurungan / penjara. Dengan demikian, setelah kebangkitan umum tubuh para terkutuk, dalam rupa tubuh dan bukan roh, mereka tentunya berada di “suatu tempat” di mana mereka akan menerima siksa api.


Api Penyucian adalah Pemurnian yang Diperlukan

Sebelum kita masuk dalam persekutuan penuh dengan Tuhan, setiap noda dosa dalam diri kita harus dihapuskan dan setiap ketidaksempurnaan jiwa harus disempurnakan.

Dalam Audiensi Umum pada hari Rabu, 4 Agustus 1999, sebagai kelanjutan dari katekese beliau mengenai surga dan neraka, Bapa Suci merefleksikan api penyucian. Beliau menjelaskan bahwa integritas fisik diperlukan untuk masuk dalam persekutuan sempurna dengan Tuhan. Oleh sebab itu, “istilah api penyucian tidak menyatakan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan”, di mana Kristus “menghapus… sisa-sisa ketidaksempurnaan.”

1. Seperti telah kita lihat dalam kedua katekese terdahulu, atas dasar pilihan definitif menerima atau menolak Tuhan, manusia mendapati dirinya menghadapi salah satu dari alternatif berikut: hidup bersama Tuhan dalam kebahagiaan kekal, atau tetap jauh dari hadirat-Nya.

Bagi mereka yang mendapati diri dalam kondisi terbuka terhadap Tuhan, namun masih belum sempurna, ziarah menuju kebahagiaan penuh menuntut suatu pemurnian, yang dijelaskan iman Gereja dalam doktrin “Purgatorium” (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 1030-1032).

Agar dapat ikut serta dalam kehidupan Ilahi, kita harus sepenuhnya dimurnikan

2. Dalam Kitab Suci, kita dapat menangkap bagian-bagian tertentu yang membantu kita memahami arti ajaran ini, meskipun tidak digambarkan secara formal. Bagian-bagian tersebut mengungkapkan keyakinan bahwa kita tak dapat datang kepada Tuhan tanpa melewati semacam pemurnian.

Menurut hukum agama Perjanjian Lama, apa yang diperuntukkan bagi Tuhan haruslah sempurna. Sebab itu, integritas fisik juga dituntut secara khusus dari hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan pada tingkat persembahan seperti, misalnya, binatang-binatang kurban (bdk. Im 22:22) atau pada tingkat kelembagaan, seperti pada kasus para imam ataupun pelayan mezbah (bdk. Im 21:17-23). Pengabdian total terhadap Allah Perjanjian, senantiasa diajarkan seperti didapati dalam Kitab Ulangan (bdk. Ul 6:5), dan yang harus sesuai dengan integritas fisik ini, dituntut dari masing-masing individu dan masyarakat sebagai suatu komunitas (bdk 1Raj 8:61), yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN (bdk. Ul 10;12 dst).   

Perlunya integritas tak pelak lagi menjadi sangat penting sesudah kematian, agar dapat masuk ke dalam persekutuan sempurna dan sepenuhnya dengan Tuhan. Mereka yang tidak memiliki integritas ini harus menjalani pemurnian. Hal ini dijelaskan dalam tulisan St Paulus. Rasul Paulus berbicara mengenai nilai pekerjaan tiap-tiap orang yang akan dinyatakan pada hari pengadilan dan mengatakan, “Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1Kor 3:14-15).

3. Adakalanya, guna mencapai keadaan integritas yang sempurna, dibutuhkan perantaraan seseorang. Sebagai contoh, Musa memperolehkan pengampunan bagi bangsanya dengan doa di mana ia mengingatkan kembali karya penyelamatan yang dilakukan Tuhan di masa lampau, dan berdoa mohon kesetiaan Tuhan atas sumpah-Nya kepada nenek-moyangnya (bdk. Kel 32:30, 11-13). Sosok Hamba Tuhan, seperti dilukiskan dalam Kitab Yesaya, juga digambarkan bahwa dengan peran pengantaraannya dan penebusannya bagi banyak orang, pada akhir sengsaranya ia “akan melihat terang” dan “akan membenarkan banyak orang”, kejahatan mereka dia pikul (bdk. Yes 52:13-53:12, khususnya ay 53:11).

Mazmur 51 dapat dianggap, menurut sudut pandang Perjanjian Lama, sebagai suatu perpaduan dari proses menuju kesempurnaan: pendosa mengakui dan sadar akan kesalahannya (ay 5), mohon dengan sangat agar dimurnikan atau “dibersihkan” (ay 4, 9, 11-12, 19) agar dapat mewartakan puji-pujian kepada Allah (ay 17).

Purgatorium bukan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan.

4. Dalam Perjanjian Baru, Kristus ditampilkan sebagai Pengantara yang menjabat peran Imam Agung pada hari pengadilan (Ibr 5:6; 7:25). Tetapi, dalam Dia, imamat dihadirkan dalam bentuk yang baru dan definitif. Ia masuk ke dalam sorga sekali saja untuk selamanya, untuk menjadi pengantara kita kepada Allah (bdk. Ibr 9:23-26, khususnya ay 24). Ia sekaligus Imam Agung dan “korban silih” bagi dosa-dosa seluruh dunia (1Yoh 2:2).

Yesus, sebagai pengantara agung yang menebus kita, akan sepenuhnya menyatakan diri pada akhir hidup kita ketika Ia akan mengungkapkan Diri-Nya dengan tawaran belas kasihan, tetapi juga dengan pengadilan yang tak terelakkan bagi mereka yang menolak kasih dan pengampunan Bapa.

Tawaran belas kasihan ini tidak meniadakan kewajiban kita untuk menghadirkan diri di hadirat Allah dengan murni dan seutuhnya, penuh dengan kasih yang disebut Paulus sebagai “pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

5. Dalam mengikuti dorongan Injil untuk menjadi sempurna seperti Bapa Surgawi (bdk. Mat 5;48) semasa kita hidup di dunia, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam kasih, untuk tak bercacat dan kudus di hadapan Allah Bapa “pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya. (1Tes 3:12 dst). Lagipula, kita diundang untuk “menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani” (2Kor 2:1; bdk. 1Yoh 3:3), sebab perjumpaan dengan Allah menuntut kesucian sepenuhnya.

Setiap kelekatan terhadap kejahatan harus dihapuskan, setiap ketidaksempurnaan jiwa harus disempurnakan. Pemurnian harus dilaksanakan sepenuhnya, dan sungguh, inilah yang dimaksudkan dengan ajaran Gereja mengenai api penyucian. Istilah api penyucian tidak menyatakan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan. Mereka yang, setelah kematian, berada dalam keadaan pemurnian, telah berada dalam kasih Kristus yang menghapuskan dari diri mereka segala sisa-sisa ketidaksempurnaan (bdk. Konsili Ekumenis Firense, Decretum pro Graecis:  DS 1304; Konsili Ekumenis Trente, Decretum de iustificatione:  DS 1580; Decretum de purgatorio:  DS 1820).

Penting dijelaskan bahwa keadaan pemurnian bukanlah suatu perpanjangan dari kondisi duniawi, hampir seakan-akan setelah kematian orang diberi kesempatan lain untuk mengubah nasibnya. Ajaran Gereja dalam hal ini tegas, dipertegas lagi oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan, “Tetapi karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (bdk. Ibr 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati, dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal, ke dalam kegelapan di luar, di tempat `ratapan dan kertakan gigi' (Mat 22:13 dan 25:30)” (Lumen Gentium no. 48)

6. Satu aspek penting terakhir yang senantiasa ditunjukkan oleh tradisi Gereja hendaknya kini digiatkan kembali: dimensi “communio”. Sesungguhnya, mereka yang mendapati diri berada dalam keadaan pemurnian, dipersatukan baik dengan para kudus yang telah menikmati kepenuhan kehidupan kekal, dan dengan kita di bumi yang sedang dalam perjalanan menuju rumah Bapa (bdk. CCC, no. 1032).

Sama seperti dalam kehidupan mereka di dunia umat beriman dipersatukan dalam satu Tubuh Mistik, demikian pula setelah kematian, mereka yang berada dalam keadaan pemurnian menikmati kesetiakawanan gerejani yang sama, yang bekerja melalui doa, doa-doa silih dan kasih bagi sesama saudara dan saudari dalam iman. Pemurnian berada dalam ikatan pokok yang tercipta antara mereka yang hidup di dunia ini dan mereka yang telah menikmati kebahagiaan kekal.

Dasar Purgatory adalah:

Why. 21:27 Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu.

“Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: 'Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?' Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.” (1 Kor 15:35-36, 42-44).

“Saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5:28-29)

Katekismus Gereja Katolik 1030 - 1032

Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga.

Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, purgatorium [api penyucian]. Ia telah merumuskan ajaran-ajaran iman yang berhubungan dengan api penyucian terutama dalam Konsili Firence dan Trente. Tradisi Gereja berbicara tentang api penyucian dengan berpedoman pada teks-teks tertentu dari Kitab Suci.

"Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan masih ada api penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran abadi mengatakan bahwa, kalau seseorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, 'di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak' (Mat 12:32). Dari ungkapan ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia ini, yang lain di dunia lain" (Gregorius Agung, dial. 4,39).

Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah meninggal, tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: "Karena itu [Yudas Makabe] mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya" (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati.

"Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Ayb 1:5), bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka" (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).

**********************************************************************

St Yopi:

Ketika seseorang meninggal, maka jiwanya:

1. Apabila dia seorang Katolik, dan ia bertobat sebelum wafat, dia akan masuk Purgatory, disucikan disana kemudian menuju Surga.
2. Apabila dia seorang non Katolik dan tidak pernah mengenal Gereja Katolik Roma selama hidup, maka dia akan masuk Purgatory, disucikan disana dan mendapat Penginjilan Orang Mati (1Ptr. 3:19 dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, 1Ptr. 4:6 Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah.), dikenalkan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang Sejati dan Pemimpin Gereja Katolik Roma, kemudian menuju Surga.

Berikut berdasarkan Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS / Diluar Gereja Katolik Roma tidak ada keselamatan):

Nomor 3-4 diserahkan kepada Kerahiman Ilahi, Gereja Katolik Roma mengimani mereka TIDAK SELAMAT (EENS):
3. Apabila dia seorang non Katolik, mengenal Gereja Katolik Roma selama hidup, namun mempercayai Yesus Kristus, bertobat sebelum wafat, maka (KEMUNGKINAN) dia akan masuk Purgatory, disucikan disana dan mendapat Penginjilan Orang Mati (1Ptr. 3:19 dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, 1Ptr. 4:6 Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah.), dikenalkan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang Sejati dan Pemimpin Gereja Katolik Roma, kemudian menuju Surga.
4. Apabila dia seorang non Katolik, mengenal Gereja Katolik Roma selama hidup, namun TIDAK mempercayai Yesus Kristus, namun bertobat sebelum wafat dan MENGAKUI dan MEMPERCAYAI Tuhan Yesus, maka (KEMUNGKINAN) dia akan masuk Purgatory, dikenalkan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang Sejati dan Pemimpin Gereja Katolik Roma, kemudian menuju Surga.

Nomor 5 Gereja Katolik Roma mengimani mereka TIDAK SELAMAT (EENS):
5. Apabila dia seorang non Katolik, mengenal Gereja Katolik Roma selama hidup, namun TIDAK mempercayai Yesus Kristus, TIDAK bertobat sebelum wafat, maka dia akan masuk Purgatory, dikenalkan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang Sejati dan Pemimpin Gereja Katolik Roma, kemudian menuju NERAKA .

**********************************************************************

“"Purgatorium adalah api batin. Jiwa sadar akan kasih Allah yang tak terhingga dan keadilan-Nya yang sempurna; sebagai konsekuensinya, jiwa menderita sebab tidak memberikan tanggapan kepada kasih itu secara sempurna, dan adalah tepat kasih Allah Sendiri yang memurnikan jiwa dari kebinasaan akibat dosa.”

~ Paus Benediktus XVI
www.indocell.net/yesaya, katolisitas.org, dll

1 komentar:

  1. Merkur & Ferencia: Merkur & Ferencia Merkur
    Merkur 메이피로출장마사지 & gri-go.com Ferencia merkur - Merkur & Ferencia Merkur in Solingen, Germany - 1xbet korean Merkur - Merkur titanium ring Merkur - MERKUR - Merkur https://febcasino.com/review/merit-casino/ & Ferencia Merkur

    BalasHapus