Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983
1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).
2. PAHAM DASAR PERKAWINAN
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)
a. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
b. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).
c. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak
Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
f. Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
3. SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.
3.1. Monogami
a. Arti Monogami
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
b. Implikasi atau konsekuensi Monogami
Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:
(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.
c. Dasar Monogami
Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif.
Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit.
Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.
3.2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan
a. Arti
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.
b. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).
Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.
Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.
Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.
c. Dasar
Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.
d. Tingkat kekukuhan
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.
(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.
(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.
(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.
4. KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)
Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)
Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).
Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).
Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.
Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.
5. WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK
Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.
Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).
Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.
6. SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK
6.1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:
(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.
(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.
(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”
(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.
(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.
(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)
(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.
(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.
(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.
(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.
(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”
6.2. Adanya Konsensus atau Kesepakatan Nikah
a. Pengertian Konsensus
Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus
Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:
(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)
6.3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)
“Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.
7. PERKAWINAN CAMPUR (Kan 1124-1129; 1086)
7.1. Pengertian
Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.
Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.
7.2. Dua Jenis Perkawinan Campur
Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.
Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.
7.3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi
Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:
(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.
7.4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)
Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.
Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.
1. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.
2. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.
7.5. Pastoral Kawin Campur
Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.
Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.
Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.
7.6. Kesulitan Pencatatan Sipil
Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.
7.7. Beberapa Catatan dan Harapan
Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.
* Previlegi Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya ialah:
a). Pada awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;
b). Kemudian salah satu pihak dibaptis;
c). pihak non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;
d). demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.
** Tidak termuat dalam KHK tapi dalam “Instruksi Ut Notum Est” untuk Pemutusan Perkawinan demi Iman. Previlegi Iman ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “bahwa perkawinan yang diteguhkan antara pihak baptis non-Katolik dengan pihak non-baptis, atau antara pihak Katolik dengan pihak non-baptis yang diteguhkan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama (disparitas cultus), dapat diputus oleh tahta suci karena alasan yang kuat terutama demi iman”.
Prevelegium Petrinum dan Prevelegium Paulinum
Halangan-halangan Nikah & Caput Nullitatis Matrimonii
Pemutusan dan Pembatalan Perkawinan
Pemutusan / perceraian ikatan perkawinan (dissolutio matrimonii) tidak sama dengan pembatalan perkawinan (anulatio matrimonii). Pemutusan ikatan perkawinan selalu mengandaikan sahnya (validitas) perkawinan itu sendiri; sedangkan pembatalan lebih merupakan sebuah keputusan yang diambil oleh Pengadilan Gerejawi yang menyatakan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan itu adalah tidak sah, sehingga memang belum pernah terjadi perkawinan yang benar dan sah. Dengan kata lain, secara hukum, perkawiman tersebut dianggap tidak sah sejak awal. Beberapa jenis perkawinan ini adalah:
1. Perkawinan ratum et non consummatum (kanon 1142)
Kanon ini mengatakan bahwa perkawinan non consummatum antara orang-orang yang telah dibaptis atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis dapat diputus oleh Paus. Ada dua kondisi yang dituntut dalam pemutusan semacam ini, yakni tidak adanya konsumasi dan adanya alasan yang wajar. Otoritas yang berwenang untuk memutuskan perkawinan ini hanyalah Sri Paus (dalam hal ini, Kongregasi untuk Urusan Ibadat dan Sakramen). Proses pemutusan ini bukan merupakan proses pengadilan (seperti terjadi dengan proses pembatalan atau anulatio) tetapi lebih merupakan proses administrasi. Untuk mendapatkan dispensasi ini, ada dua tahap yang harus dilalui yakni: proses yang terjadi di daerah domisili, di hadapan Ordinaris Wilayah, dan proses yang terjadi di Tahta Suci, di hadapan Kongregasi untuk Urusan Ibadat dan Sakramen.
2. Privilegium Paulinum (kanon 1143-1147; 1150).
Dasar: 1Kor 7,12-16
Motivasi dasar: demi iman pihak yang dibaptis (katolik/non-katolik)
Kanon ini adalah pemutusan ikatan perkawinan demi iman pihak yang dibaptis, maksudnya untuk memajukan pertobatan pada iman kristen dan bertahan padanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anak-anak. Prinsip dasarnya, adalah:
Ø Pada awalnya perkawinan itu dua orang yang tidak dibaptis (infideles): kan 1143 § 1;
Ø Salah satu pihak dibaptis, yang lain tetap tidak dibaptis (kanon 1143 § 1;
Ø Pihak yang tidak dibaptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi (discessus), enath secara fisik atau secara moral: kanon 1143 § 1-2
Ø Demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai, dlsb.
Ø Pihak yang dibaptis memasuki suatu perkawinan baru, dengan demikian putuslah ikatan perkawinan yang terdahulu (kan 1147).
3. Pemutusan demi iman poligami bertobat (privilegium pianum): kan 1148
Dasar: konstitusi dari Paus Paulus III dan Pius V berkaitan dg poligami yg bertobat
Motivasi dasar: demi iman pihak poligami yang dibaptis (katolik)
Syarat penggunaan privilegium pianum:
Ø Mengenai perkawinan poligami tak-baptis (nfideles)
Ø Dlm perjalanan, poligami dibaptis
Ø Poligami baptis tidak bisa mempertahankan perkawinannya dengan istri pertama dan pilih satu dari istri-istri lain
Ø Tanpa interpelasi pada pihak isteri pertama
Ø Perkawinan baru dg salah satu dari isteri-isteri, selain isteri pertama
4. Pemutusan demi iman karena penahanan (privilegium gregorianum): kan 1149
Dasar: konstitusi dari Paus Gregorius XIII berkaitan dg orang yang setelah baptis tak mampu memulihkan persekutuan hidup bersama dg pasangan
Motivasi dasar: demi iman pihak yang dibaptis (katolik)
Syarat penggunaan privilegium gregorianum:
a. Mengenai perkawinan dua orang tak-baptis (infideles)
b. Dlm perjalanan, satu dibaptis dan tidak mampu memulihkan persekutuan hidup bersama karena pasangannya dipenjara atau penahanan
c. Tanpa interpelasi pada pihak yang dipenjara/ditahan
d. Perkawinan baru dg orang katolik atau non-katolik dg perhatian syarat perkawinan campur/beda agama: kan. 1125-1126
5. Pemutusan ikatan Perkawinan demi iman (dissolutio matrimonii in favorem fidei)
Dasar: instruksi kongregasi Ajaran Iman dan Moral ut notum est, 6 Des, 1973 dan potestas ecclesiae, 31 April 2001
Motivasi dasar: demi iman pihak yang dibaptis (katolik)
Pemutusan ikatan perkawinan demi iman yang juga disebut privilegium petrinum, sungguh-sungguh sebuah kemurahan (gratia) atau pemberian cuma-cuma dan bebas dari Takhta Suci kepada umat beriman. Beberapa perkawinan yang pemutusannya termasuk jenis ini adalah:
Ø Perkawinan consummatum antara seorang baptis dan seorang tak baptis, dengan atau tanpa dispensasi dari halangan nikah beda agama.
Ø Perkawinan antara dua orang tak baptis, kemudian salah satunya dibaptis, namum perkawinan ini tidak masuk dalam lingkup privilegium paulinum karena tak terpenuhinya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengaplikasikan privilegi tersebut, misalnya karena hasil interpelasi terhadap pihak tak baptis adalah positif;
Ø Perkawinan dua orang yang selama perkawinan tidak pernah baptis.
Cara yang ditempuh untuk memperoleh kemurahan ini adalah memohon kepada Takhta Suci agar dengan potestas supremanya memberikan kemurahan, dengan memutuskan ikatan perkawinan ini demi iman. Permohonan kemurahan kepada Takhta Suci tersebut harus disertai proses administratif atau proses informatif, melalui mana dikumpulkan berbagai macam dokumen dan bukti-bukti yang dibutuhkan. Yang harus dibuktikan, yakni tidak adanya baptis dari pihak yang tidak dibaptis
Perbedaan Larangan dan Halangan
Larangan Nikah
Larangan nikah, tidak menghalangi secara mutlak seseorang untuk menikah atau tidak menghapus kapasitas yuridis seseorang untuk menikah. Apa bila perkawinan ini dilangsungkan, maka tidak mengakibatkan perkawinan yang telah dilakukan itu menjadi tidak sah, melainkan hanya membuat tidak layak (illicit). Kalau suatu perkawinan dilarang, maka untuk meneguhkannya diperlukan izin dari kuasa gerejawi yang berwenang. Ada tiga jenis larangan nikah dalam hukum Gereja, yakni: (1). Larangan Legal, (2). Larangan Administratif dan (3). Larangan Yudisial.
Larangan Legal
1. Perkawinan orang-orang pengembara (kanon 1071 § 1, 1º)
2. Perkawinan yang menurut norma undang-undang negara tidak dapat diakui atau tidak dapat dilangsungkan (1071§ 1, 2º
3. Perkawinan orang-orang yang terikat kewajiban-kewajiban kodrati terhadap pihak lain atau terhadap anak-anak yang lahir dari hubungan sebelumnya (kanon 1071 § 1, 3º).
4. Perkawinan orang yang telah meninggalkan iman katolik secara terbuka (kanon 1071§1,4º)
5. Perkawinan orang yang terkena hukuman gereja (kanon 1071 § 1,5º)
6. Perkawinan anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk akal tidak disetujui oleh orangtuanya (kanon 1071 § 1, 6º)
7. Perkawinan yang akan diteguhkan lewat prokurator (kanon 1071 § 1, 7º)
8. Perkawinan bersyarat (kanon 1102 §)
9. Perkawinan Campur beda Gereja (kanon 1124)
10. Perkawinan rahasia (kanon 1130)
Larangan Administratif
Larangan administratif adalah larangan yang dibuat oleh pemegang kuasa administratif dalam Gereja atas dasar pertimbangan pastoral khusus dan dalam kasus partikular (kanon 392). Berdasarkan sifatnya yang kasuistik dan partikular, maka tidak ada daftar yang pasti mengenai larangan administratif ini. Salah satu contoh: Ordinaris wilayah, dapat melarang umatnya melangsungkan perkawinan, juga jika suatu perkawinan diteguhkan di tempat lain (kanon 1077§1). Agar larangan tidak dibuat sewenang-wenang sehingga melanggar secara tidak adil hak fundamental untuk menikah (kanon 1058), maka larangan itu ada persyaratannya, yakni: hanya dikenakan pada kasus-kasus khusus (tidak bisa dalam dekret atau undang-undang); hanya untuk sementara waktu; dikenakan hanya karena alasan yang berat dan alasan itu masih berlangsung.
Larangan Yudisial
Larangan Yudisial bersumber dari keputusan atau dekret pengadilan gerejawi. Misalnya dalam dekret pernyataan tidak sahnya perkawinan (yang dikeluarkan oleh tribunal), hakim dapat mencantumkan larangan untuk menikah lagi, misalnya bagi pihak yang menjadi penyebab tidak sahnya perkawinan pertama, entah karena menderita impotensi, enatah karena tidak mampu membuat konsensus, dll.
Halangan Nikah
Halangan nikah ialah larangan yang membuat seseorang tidak mampu untuk menikah. Kanon 1073: “Halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu untuk menikah secara sah”. Untuk meneguhkan perkawinan orang yang terkena halangan dibutuhkan dispensasi dari otoritas gerejawi yang berwenang.
1. Halangan nikah umur
Kanon 1083 § 1: “Laki-laki sebelum berumur genap 16 tahun dan perempuan berumur genap 14 tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah”.
Dengan halangan umur ini, Gereja bermaksud untuk menjamin kematangan jiwa dan fisik, demi kepentingan hidup perkawinan itu sendiri. Disamping itu, hukum Gereja memberikan kewenangan kepada Konferensi para Uskup untuk menetapkan usia yang lebih tinggi, terutama dengan mengikuti ketentuan hukum sipil setempat yang berlaku (kan. 1083§2), agar tidak terjadi konflik antara kedua perundang-undangan. Namun ketentuan ini hanya untuk halalnya, bukan untuk sahnya perkawinan.
2. Halangan Impotensi
Impotensi artinya ketidakmampuan untuk melakkan hubungan seksual suami-istri. Impotensi bisa mengenai pria maupun wanita. Manurut kan 108 4 §, impotensia merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak atau pun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didispensasi, apalagi impotensi tidak memungkinkan suami-istri menjadi “satu daging”, yang merupakan tujuan hakiki khas perkawinan.
Impotensi dikatakan “absolut” jika pihak yang bersangkutan tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis siapa pun, sehingga yang bersangkutan tidak bisa menikah dengan siapa pun. Sedangkan impotensi bersifat “relatif”, jika si penderita tidak mampu melakukan hubungan seksual dengan orang tertentu, misalnya dengan pasangannya sendiri. Impotensi, baik absolut maupun relatif, menggagalkan perkawinan.
Catatan: Sterilitas atau kemandulan dari dirinya sendiri, bukan merupakan halangan atau larangan nikah.
3. Halangan Ikatan Perkawinan Sebelumnya
Kan 1085 § 1: “Tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan persetubuhan”.
Orang yang terikat oleh ikatan perkawinan sah tidak dapat kawin secara sah dengan pihak ketiga, bila ikatan terdahulu belum atau tidak dapat diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang. Ikatan nikah yang dimaksud di sini, tidak hanya mencakup perkawinan sah antara orang katolik, namun juga perkawinan sah orang-orang non-katolik. Perceraian nikah yang telah dibuat oleh pengadilan negeri TIDAK mempunyai kekuatan kanonik, dalam arti menurut pandangan Gereja, mereka yang telah bercerai masih tetap berada dalam ikatan nikah yang sah, sampai diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang.
4. Halangan Beda Agama
Di dalam perkawinan, suami-istri sama-sama berupaya mewujudkan persekutuan hidup dan cinta kasih dalam semua aspek dan dimensinya. Justru karena itu, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak-anak dan kesejahteraan keluarga. Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya.
Namun Gereja juga bersikap realistis. Ia mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas menentukan status hidupnya, entah hidup menikah atau tidak/selibater (bdk. Kan. 219). Dan jika ia memilih untuk menikah, ia bebas menentukan jodohnya sendiri, sekalipun berbeda iman atau agama. Untuk hal terakhir ini, Gereja menghormati pilihan orang tersebut, dengan melakukan beberapa tindakan pengamanan bagi iman katolik (lih. Kan. 1125).
Ada perbedaan antara perkawinan campur beda Gereja (matrimonium mixtae religionis) dengan perkawinan campur beda agama (matrimonium disparitas cultus), baik dari sudut doktrinal maupun dari sudut hukum. Secara doktrinal, perkawinan antara orang katolik dengan orang yang dibaptis non-katolik (beda Gereja), perkawinan mereka adalah sakramen karena sama-sama memiliki pengakuan iman yang sama, suatu persekutuan dan kesamaan dalam harta rohani. Sedangkan perkawinan antara orang katolik dengan yang tidak dibaptis, bukan sakramen, tetapi hanya berdimensi natural saja, mereka hanya disatukan oleh nilai-nilai insani dan kodrati saja.
Dari sudut hukum, perkawinan antara dua orang dibaptis, dimana salah satu katolik dan yang lain tidak, merupakan larangan (kan. 1124) yang membutuhkan ijin dari otoritas gerejawi yang berwenang. Seangkan perkawinan antara seorang katolik dengan orang yang tidak dibaptis merupakan halangan yang bersifat menggagalkan (kan. 1086 § 1), dan perkawinan ini bisa dilangsungkan jika ada dispensasi dari Ordinaris wilayah berdasarkan alasan yang wajar, nasuk akal dan mendesak (kan. 1086 § 2).
5. Halangan Nikah Tahbisan Suci (Selibat)
Kanon 1087: “ Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.
Melalui tahbisan suci, beberapa orang beriman, memperoleh status khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam Gereja. Mereka adalah uskup, imam dan diakon (bdk. Kan. 207 § 2, 1008, 1009 § 1).
Gereja Katolik Roma (Latin), menuntut selibat penuh bagi mereka yang menerima tahbisan suci (bdk. Kan. 177), dan menjadikan tahbisan suci ini halangan nikah. Tuntutan ini bukanlah tuntutan buta tanpa alasan. Dalam hal ini Gereja katolik selalu mendasarkan diri pada teks-teks biblis (Lih Mat 19,12; Luk 18,28-30; 1 Kor 7,5.32-34; dll) serta tradisi Gereja yang panjang. Tujuannya adalah demi penyerahan diri secara total kepada Allah dan pelayanan yang penuh bagi jemaat.
Karena sifatnya gerejani, halangan nikah ini bisa didispensasi oleh Takhta Suci (lih kanon 1075). Dispensasi mencakup dua hal, yang disebut laikalisasi (proses menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat, sehingga memungkinkan dilangsungkannya pernikahan secara sah.
6. Halangan Nikah Religius
Kanon 1088: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius”.
Yang dimaksud kaul publik adalah kaul yang diterima secara resmi atas nama Gereja. Yang menjadi halangan nikah yang bersifat menggagalkan adalah kaul kekal dalam semua tarekat religius, baik yang di tingkat kepausan maupun tingkat keuskupan.
Gereja menjadikan kaul kekal publik ini halangan yang menggagalkan perkawinan, karena apa yang menjadi objek kaul kemurnian, secara praktis dan logis, tidak dapat berjalan bersama dengan objek perkawinan, yaitu consortium totius vitae yang mencakup juga hak atas persetubuhan. Karena itu, orang yang telah mengucapkan kaul kekal tidak bisa menikah dengan sah, kecuali telah mendapat dispensasi dari otoritas yang berwenang.
7. Halangan Nikah Penculikan (kan. 1089)
Yang dimaksud dengan penculikan adalah “membawa pergi secara paksa seorang wanita yang tidak mau, dengan tujuan untuk dinikahi”. Paksaan ini bisa bersifat fisik maupun moral. Paksaan moral terjadi bila, misalnya dibarengi dengan ancaman yang maha dahsyat, sehingga membuat wanita ketakutan. Penculikan secara paksa ini harus dibedakan dengan kasus wanita yang dibawa pergi karena tertarik oleh rayuan. Yang ini jelas bukan paksaan.
Halangan ini akan berhenti dengan sendirinya, dan mereka bisa menikah secara sah, bila:
a. Antara penculik dan yang diculik sudah berpisah
b. Pihak wanita dikembalikan ke tempat yang aman
c. sesudah dipisahkan, wanita secara bebas mau kawin dengan bekas penculiknya itu.
8. Halangan Nikah Kejahatan
Kanon 1090 § 1: “Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri”.
Sepasang pria-wanita, yang dimabuk cinta secara berlebih-lebihan, bisa terjerumus dalam suatu tindakan kriminal, yang justru menghalangi mereka untuk menikah. Bisa jadi untuk ,memuluskan rencana pernikahan, mereka membunuh suami/istri sendiri atau suami/istri pasangannya. Halangan nikah ini bisa saja didispensasi, tapi oleh Takhta postolik, yang diberikan atas alasan yang sangat berat dan hanya dalam kasus pembunuhan tersembunyi, agar tidak memicu skandal atau kemarahan pihak lain.
9. Halangan Nikah Hubungan Darah (Lih kanon 1091)
Gereja menetapkan halangan nikah hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest, yaitu perkawinan antara orang-orang yang masih memiliki hubungan dasah yang sangat dekat. Hubungan incest pertama-tama dilarang oleh ajaran moral kristiani. Hubungan incest juga berakibat buruk terhadap keshatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan, yang akhirnya juga akan merugikan masyarakat.
Kanon 1091 § 2 dilengkapi dengan kan. 1078 § 3, menegaskan bahwa Gereja tidak pernah memberikan dispensasi dari halangan nikah dalam garis keturunan menyamping tingka 2 (mis: antara dua orang bersaudara).
10. Halangan Nikah Hubungan Semenda
Kanon 1092: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun”.
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendakakan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antaranggota dari dua keluarga itu. Jadi hubungan semenda itu muncul sebagai akibat dari suatu ikatan perkawinan dan bukan ikatan darah. Karena itu, hubungan semenda ini lebih merupakan suatu pertalian yuridis, bukan ikatan natural atas dasar keturunan atau proses generatif. Konkritnya: terjadi antara suami dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya; dan sebaliknya antara istri dengan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya, dalam garis lurus di semua tingkat. Misalnya: mertua dan menantu, antara ibu dan anak tiri laki-laki, serta antara bapak dan anak tiri perempuan. Halangan nikah ini dapat didispensasi dalam kasus yang sungguh-sungguh merupakan kekecualian, demi menghindari skandal (dispensasi dari Ordinaris Wilayah).
11. Halangan Nikah Kelayakan Publik (Kanon 1093)
Hampir sama dengan halangan semenda. Bedanya ialah hubungan semenda muncul dari ikatan perkawinan sah; sedangkan kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah (kumpul kebo / konkubinat) yang diketahui umum atau publik, sampai pada garis lurus tingkat pertama.
Halangan nikah ini sifatnya semata-mata gerejani. Dan halangan ini hanya bisa terhenti melalui dispensasi dari Ordinaris Wilayah.
12. Halangan Pertalian Hukum Karena Adopsi
Kanon 1094: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi”.
Adopsi adalah tindakan hukum mengambil seseorang yang bukan anak/cucunya, dipelihara dan diperlakukan sebagai anak/cucunya sendiri. Hal ini bisa terjadi dengan suatu tindakan publik (upacara, peresmian) atau dengan suatu ketetapan resmi menurut hukum sipil atau hukum adat. Pertalian hukum yang muncul dengan adopsi, yakni: antara yang mengangkat dengan yang diangkat; antara anak angkat dengan anak kodrati; antara Bapa angkat dengan isteri anak angkat dan sebaliknya.
Motif etis dan sosial yang mendasari halangan ini mirip dengan motif yang mendasari halangan hubungan darah, yakni untuk melindungi moralitas dan martabat keluarga serta relasi yang tepat antaranggota keluarga itu sendiri. Halangan nikah ini merupakan norma yang sifatnya semata-mata gerejawi, jadi bagi orang yang terkena halangan ini bisa dimintakan dispensasi pada otoritas gerejawi yang berwenang.
Dasar kewenangan Gereja atas semua perkawinan
Kuasa yang dimiliki oleh Gereja Katolik:
1. Potestas Sacra à kuasa yang diberikan oleh Allah sendiri: sekali untuk selamanya
2. Potestas vicaria à kuasa yang dimiliki oleh Gereja, namun selalu dilakukan in nomine Christi
3. Dasar biblis:
a. Matius 16,16-18 à kuasa kunci
b. Matius 28,18-20 à Seluruh kuasa di surga dan di bumi
4. Akibat: Gereja sebagai depositum fidei - pembela Wahyu Ilahi
a. Gereja berwenang untuk menjaga, menafsirkan dan menerapkan hukum ilahi dalam kondisi dan situasi konkret
b. Semua hal sakral menjadi urusan Gereja Katolik
Caput nullitatis:
Caput Nullitats perkawinan adalah alasan yuridis yang menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan gugatan anulasi perkawinan. Disebut alasan yuridis, maksudnya alasan-alasan itu sudah diatur oleh ketentuan norma atau fakta-fakta yang oleh hukum dinyatakan sebagai dasar tidak sahnya sebuah perkawinan. Ada tiga pelaku penting yang mendapat perhatian dalam tindakan hukum proses kanonik pembatalan perkawinan, yakni: (1). Pemohon (quis petit); (2). Hakim (coram quo) dan (3). Responden (a quo petatur).
Hukum proses dalam perkawinan kanonik dimulai dengan sebuah tindakan dari pemohon dengan membuat surat permohonan pembatalan perkawinan kepada Tribunal perkawinan yang berkompeten. Tindakan hukum dari pemohon yang mengutarakan kehendaknya untuk proses hukum pembatalan perkawinannya di depan Tribunal Perkawinan yang berkompeten disebut libellus (buku kecil atau tulisan kecil).
Ada dua hal pokok untuk menghantar kita pada pemahaman tentang caput nullitatis dalam proses pernyataan batalnya perkawinan kanonik, yakni:
1. Motivasi untuk bertindak
Setiap tindakan hukum dalam hukum proses perkawinan kanonik selalu dimulai dengan pernyataan kehendak dari orang / pemohon secara bebas dan sadar. Dalam pengertian seperti ini libellus dapat dipahami sebagai tahap awal suatu tindakan hukum yang memegang peranan penting untuk terjadinya pernyataan pembatalan perkawinan di Tribunal. “Hakim tidak dapat memeriksa suatu perkara kecuali jika ada permintaan yang diajukan oleh orang yang berkepentingan atau oleh promotor iustitiae seturut norma hukum. Barangsiapa mau menggugat seseorang haruslah menyampaikan surat gugat kepada hakim yang berwenang di mana diuraikan pokok sengketa serta dimana pelayanan hakim” (Kan 1501-1502).
2. Elemen-elemen konstitutif dari libellus
Elemen-elemen konstitutif dari libellus yang menghantar pada pemahaman caput nullitatis perkawinan kanonik, terdapat dalam Kan 1502 dan 1504. Pertama, elemen Subyektif terdiri dari: pemohon, yaitu orang / persona yang meminta tindakan hukum melalui proses. Orang / persona, bisa individu, kolektif, badan hukum gereja, dapat mengajukan permintaan gugatan tentang persoalan apapun; dan responden. Kedua, elemen Obyektif yang menyatakan bahwa untuk terjadinya proses peradilan perdata biasa, perlu adanya obyek apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu ditujukan dari seorang yang berkepentingan. Dalam elemen obyektif ini, dinyatakan secara konkret obyek dari konkroversi / perkara itu diajukan ke pengadilan. Ketiga, elemen Yuridis, ditunjukkan atas dasar hukum mana / alasan yuridis mana pemohon bersandar. Dalam rujukan atas dasar hukum mana pemohon bersandar dapat diambil argumen yuridis dari hukum universal maupun hukum partikular yang berlaku. Tidak perlu diuraikan spesifikasi tindakan dan teks substansial dasar hukum tetapi kaitan persengketaan itu dengan norma hukum, entah statuta, hukum partikular / universal, yang diketahui oleh hakim tribunal. Dengan demikian, memudahkan para hakim untuk merumuskan persoalan / persengketaan (ad litem contestandam), dan atas dasar apa keabsahan perkawinan itu digugat (caput nullitatis atau capita nullitatis), kemudian menyampaikan kepada pihak yang berperkara (bdk. Kan 1677§3). Secara empiris dinyatakan bukti-bukti mana yang membenarkan apa yang dinyatakan dalam permohonan pernyataan pembatalan perkawinan. Keempat, elemen Postulat, sebagai unsur terakhir libellus, adalah permintaan pemohon agar hakim mengintervensi untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Permintaan hendaknya jelas dengan mencantumkan tanda tangan pemohon dan atau prokurator, hari, bulan dan tahun serta tempat tinggal pemohn (domisili / kuasi domisili).
Menentukan Caput Nullitatis
Persoalan pokok dalam menentukan caput nullitatis adalah persesuaian antara realita persengketaan perkawinan dengan landasan yuridis sebagai alasan pernyataan pembatalan perkawinan dan pembuktian melalui saksi-saksi biasa maupun saksi ahli. Persesuaian ini penting agar pokok sengketa yang diajukan kepada hakim dapat sungguh terbukti oleh bukti-bukti empiris maupun yuridis bahwa perkawinan itu dapat dinyatakan batal.
Pembatalan sebuah perkawinan terjadi apabila salah satu dari 3 hal di bawah ini terbukti yakni:
adanya halangan baik umum maupun khusus
adanya cacat konsensus
adanya cacat forma canonica
Tidak terlalu sulit jika caput nullitatisnya berkaitan dengan halangan-halangan nikah baik umum maupun khusus serta mengenai cacat forma kanonika, karena pada umumnya cukuplah kita mencari semua alat bukti, misalnya: halangan ikatan nikah perkawinan, cukuplah dicari dokumen-dokumen surat baptis, surat perkawinan sipil, dsb. Menjadi agak sulit ketika masalahnya justru mengenai kemungkinan adanya cacat konsensus (ketidakmampuan dalam menyatakan konsensus). Kesulitannya terutama disebabkan karena konsensus adalah tindakan personal seseorang yang berasal dari keputusan batin. Oleh karena itu, kita hanya dapat merumuskan atau menentukan cacat konsensus kalau kita memiliki pengetahuan mengenai skema pokok-pokok yang bisa dijadikan caput nullitatis terutama yang berkaitan dengan cacat konsensus.
Agar perkawinan dapat diproses sampai dihasilkan putusan afirmatif atau negatif oleh pengadilan gerejawi tingkat I, harus memenuhi 4 kriteria berikut:
a. Mempunyai cacat / kekurangan
Umum menyebut cacat atau kekurangan ini dengan kata alasan yuridis. Hal itu bisa berkenaan langsung dengan salah satu atau kedua pasangan atau perkawinan itu sendiri.
b. Cacat / kekurangan tersebut sesuai dengan KHK
Maksudnya, alasan yuridis itu berkenaan dengan halangan yang menggagalkan (kan. 1083-1094), kesepakatan tidak bebas, benar dan penuh (kan. 1095-1107) atau forma / tata peneguhan tidak terpenuhi (kan. 1108-1123). Halangan yang menggagalkan mengena langsung pada orang atau subyek perkawinan, kesepakatan yang cacat mengena pada tindakan, dan forma mengena pada bentuk atau wujud lahiriah perayaan perkawinan.
c. Adanya sebelum atau sewaktu perayaan
Cacat atau kekurangan itu telah ada sejak sebelum atau sekurang-kurangnya sewaktu perkawinan itu dirayakan. Perlu ditegaskan di sini bahwa telah adanya cacat kekurangan tidak sama dengan saat diketahuinya cacat atau kekurangan itu. Artinya, sangat mungkin cacat atau kekurangan itu telah ada sebelum perkawinan tetapi baru dikenali, disadari, atau diketahui sesudah perayaan perkawinan.
d. Ada kemungkinan dibuktikan
Hal itu menunjuk pada adanya atau tersedianya saksi-saksi yang mungkin tampil, berbagai dokumen yang mungkin dikumpulkan, atau keduanya. Hanya melalui itu, hakim dapat sampai pada kepastian moral dan dapat membuat putusan afirmatif atau negatif.
Beberapa pokok persengketaan sekitar cacat konsensus yang dapat menjadi caput nullitatis
1. Penggunaan akal-budi secara tidak mencukupi: kan. 1095 § 1
Pengertian
Ada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap orang dianugerahi oleh Tuhan akal-budi (ratio) yang mencukupi dan kemampuan untuk menggunakannya (usus rationis) secara memadai. Namun demikian, ada keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat mengganggu, menghambat, atau bahkan menghalangi, sehingga penggunaan akal-budi itu tidak memadai atau sama sekali tidak dimungkinkan. Mengenai hal itu, dua hal ditunjuk di sini. Pertama, penggunaan akal-budi pada seseorang yang secara umum dan dalam keseluruhan waktu tampak sangat rendah. Contohnya: orang debil, orang idiot, atau sejenisnya. Kedua, penggunaan akal-budi pada seseorang yang tampak sangat rendah hanya dalam waktu-waktu tertentu ( misalnya ketika kesepakatan perkawinan diungkapkan ). Contoh: orang yang sedang mabuk, linglung, trans, kesurupan, atau tidak sadar (karena pengaruh zat kimiawi tertentu, obat-obatan atau penyakit pada umumnya).
Pembuktian
Yang perlu diselidiki pada orang yang demikian adalah kemampuannya untuk ber-abstraksi atau ber-asosiasi. Abstraksi adalah kemampuan membayangkan atau menghadirkan benda, peristiwa dan nilai dalam pikiran. Asosiasi adalah kemampuan melihat hubungan antara berbagai hal, peristiwa atau nilai dalam kerangka sebab-akibat. Kekurangan menggunakan akal-budi secara permanen dapat ditunjukkan dengan cara mencari kepastian bahwa yang bersangkutan termasuk dalam kategori orang debil atau idiot. Kekurangan penggunaan akal-budi ketika kesepakatan diungkapkan, ditunjukkan dengan mencari kepastian bahwa pada saat itu ada gangguan, hambatan, atau halangan yang menyebabkan demikian. Gangguan, hambatan dan halangan itu dapat berupa keadaan atau peristiwa.
2. Tidak mampu membentuk pandangan tepat mengenai pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban perkawinan: kan. 1095.2°
Pengertian
Yang dapat terkena kekurangan atau cacat (defectus) ini adalah orang yang memiliki kemampuan akal budi cukup dan dapat menggunakannya secara memadai, namun secara obyektif ada kekurangan dalam penilaian, pertimbangan dan keputusannya yang dihasilkan oleh akal-budi yang digunakan itu. Seorang anak kecil yang pandai dapat dengan mudah menghafal rumusan atau definisi tentang perkawinan, tetapi hampir pasti ia tidak mengerti arti atau nilai yang sesungguhnya dari perkawinan itu. Begitu juga orang yang lingkungan hidupnya ditandai oleh kebiasaan kawin-cerai, kebebasan seksual, serta gaya hidup, tata nilai, budaya permisif atau sejenisnya. Sangat mungkin, orang demikian tidak mengerti arti penting atau nilai luhur seksualitas, ikatan perkawinan yang tak dapat diputuskan, dan sakramentalitas perkawinan. Kalaupun mengertinya, mungkin sekali ia tidak sampai pada tingkat keyakinan yang dituntut untuk sahnya kesepakatan perkawinan. Akibatnya, hal-hal itu tidak masuk dalam prioritas yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Akibat lebih lanjut, hal-hal itu mudah dan bahkan sangat mudah dikalahkan atau dikuburkan..
Pembuktian
Penempatan tugas dan kewajiban pokok perkawinan diantara tugas dan kewajiban lain dalam kehidupan sehari-hari; keputusan lebih ditentukan oleh perasaan senang atau tidak senang. Misalnya: lebih mementingkan menonton televisi atau sekedar bejalan-jalan dengan teman daripada mengantar pasangan yang sakit ke rumah sakit; membiarkan pasangan melacur asalkan mendapat uang; memilih menggunakan uang untuk judi daripada untuk membiayai pendidikan anak; memilih menyakiti atau menyiksa diri daripada bekerja agak jauh dari tempat tinggalnya; memilih memperkerjakan anaknya yang masih di bawah umur daripada diri sendiri bekerja dengan gaji yang lebih rendah. Untuk semua itu dapat dilihat berbagai kemungkinan berikut: usia yang terlalu muda, ketidakmatangan pribadi, kebiasaan yang tidak baik, pendidikan yang buruk, atau lingkungan yang tidak sehat, pengalaman traumatis, kehamilan pra nikah, KDRT, ketergantungan / kekanak-kanakan pada orangtua.
3. Ketidakmampuan menjalankan kewajiban pokok perkawinan: kan. 1095.3°
Pengertian
Orang yang mengalami ketidakmampuan ini umumnya memiliki kemampuan akal budi yang cukup dan mungkin cukup matang kepribadiannya. Namun keadaan psikisnya mengganggu, menghambat atau bahkan menghalangi pelaksanaan dari apa yang ia mengerti dan janjikan. Menjadi caput nullitatis sejauh gangguan psikis tersebut (trauma, sindrom, kekacauan/gangguan mental, kelainan kejiwaan, penyimpangan psikologis) membuat yang bersangkutan tidak mampu melaksanakan kewajiban hakiki perkawinan. Keadaan psikis yang adalah bagian dari dirinya itu berada diluar atau diatas kontrol dan kuasanya sehingga membuatnya demikian. Dengan keadaan psikisnya itu, ia sungguh-sungguh tak berdaya.
Pembuktian:
kewajiban pokok perkawinan berkaitan langsung dengan hakikat, tujuan dan ciri hakiki perkawinan (kanon 1055-1056).
a. Hakikat: menghidupi identitas dan melaksanakan misi perkawinan (hidup sebagai persekutuan yang senasib dan sepenagungan);
b. Tujuan: menjadi pasangan, kekasih, orangtua;
c. Ciri-ciri hakiki: menjadi pasangan yang esklusif, seutuhnya dan selamanya
Kebutuhan bantuan expert sangat dibutuhkan, dengan catatan bahwa gangguan psikologis tidak harus sampai pada gangguan klinis. Harus dicari kemudian kepastian bahwa yang membuat pelaksanaan satu atau beberapa kewajiban pokok itu tidak terpenuhi bukanlah cacat, kelemahan, kelumpuhan dan tidak berfungsinya salah satu / beberapa organ fisik.
Gangguan psikologis yang baru diketahui setelah perkawinan, hanya dapat dijadikan caput nullitatis sejauh dapat ditelusuri keberadaannya sejak sebelum perkawinan atau sejak awal pernikahan. Contoh: Setiap kali melakukan hubungan seksual, suami selalu menyakiti istrinya.
4. Ketidaktahuan mengenai hakikat perkawinan (ignorantia): kan. 1096 § 1
Pengertian
Hakikat perkawinan adalah persekutuan tetap suami-istri dengan tujuan melahirkan anak melalui hubungan seksual. Apabila seseorang tidak mempunyai pengertian akan hal itu, ia dianggap sebagai orang yang tidak mampu memberikan kesepakatan nikah. Ia melakukan kesepakatan tanpa obyek kesepakatan. Perlu diperhatikan di sini bahwa ketidaktahuan (ignorantia) itu dianggap tidak ada kalau seseorang telah melewati masa pubertas. Tetapi, tetap berlaku ketentuan yang memungkinkan untuk pembuktian yang sebaliknya.
Pembuktian
Membuktikan ignorantia tentang perkawinan, harus dilihat kemampuan akal budinya, usianya, dan lingkungan hidupnya. Sangat mungkin bahwa orang benar-benar tidak memiliki pengetahuan itu karena usianya terlalu muda atau lingkungan yang sangat mentabukan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Umumnya, kalau ignorantia itu disebabkan oleh usia yang terlalu muda, caput nullitatisnya lebih tepat diarahkan pada kekurangan umur (kan. 1083§1). Apabila disebabkan oleh kurangnya lemah akal-budi, caput nullitatis lebih diarahkan pada penggunaan akal-budi yang tidak mencukupi (kan. 1095 § 1).
5. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error in persona): kan. 1097 § 2
Pengertian
Kanon 1097 ini, termasuk ke dalam error in persona. Prinsip umum yang mau ditekankan adalah tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kesesatan tentang sesuatu yang merupakan inti tindakan atau syarat mutlak adalah tidak sah (bdk. Kan 126). Ignorantia et error objective essentialis”, kekeliruan dan ketidaktahuan membentuk secara substansial pandangan tindakan yuridis yang tidak menghasilkan apa-apa (bdk. Kan 1097§1). Dalam kan. 1097, dinyatakan dua bentuk kekeliruan: yang pertama, error in persona sebagai error substantialis. Cerita tentang Yakob yang berkeinginan menikah dengan Rahel orang yang diketahuinya, ternyata dia menikah dengan Lea yang tidak dikehendakinya (bdk. Kej. 29:15-30). Kedua, error in qualitate personae: kekeliruan mengenai sifat kepribadian (kualitas), yang merupakan tujuan langsung dan utama kesepakatan serta kualitas itu harus serius dan berat secara objektif ( berdasarkan pandangan masyarakat ) dan subjektif ( menurut orang itu sendiri yg memberi nilai substansial pada kualitas itu ).
6. Tipu muslihat (error dolosus): bdk. Kan. 1098).
Kanon ini masih berbicara tentang error (kekeliruan) karena tertipu, yakni orang menikah karena tertipu. Kekeliruan ini disebabkan oleh kejahatan orang lain lewat tipu muslihat dan dengan tindakan ini, seseorang mau menanamkan sebuah realitas palsu dalam diri subjek yang tidak sesuai dengan realitas riil dan objektif. Kanon ini diadakan untuk melindungi orang-orang yang akan menikah dari setiap bentuk penipuan yang dapat sangat merugikan keputusan kehendak bebas. Penipuan ini dibedakan atas dolus directus: penipuan yang langsung direncanakan oleh subyek pelaku dan dolus indirectus: melakukan penipuan tetapi lewat perantara orang lain. Jenis-jenis penipuan, mis: menjebak, menutup-nutupi, main sandiwara mengenai sifat / kualitas yang seandainya diketahui oleh pihak lain, pasti pihak lain itu akan menolak untuk menikah dengannya, penyakit, kualitas moral, dlsb.
7. Pengecualian (exclusio atau simulatio) bdk. Kan 1101
Dalam doktrin yurisprudensi, caput nullitatis berdasarkan pada kan 1101, disebut dengan simulatio, sementara dalam KHK 1983, ditemukan istilah exclusio (pengecualian). Simulatio dibedakan atas simulatio partialis: apabila salah satu atau kedua belah pihak dengan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan; dan simulatio totalis: apaila salah satu atu kedua belah pihak dengan positif mengecualikan perkawinan itu sendiri. Agar dapat memahami fenomena simulatio dalam kan. 1101 ini, perlu dilihat kembali prinsip yang dinyatakan dalam kan. 1057. Hal mana dinyatakan dalam kan. 1057 bahwa kesepakatan adalah perbuatan kemauan (actus voluntatis) antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawiman. Jadi untuk membentuk kesepakatan (consensus) dibutuhkan kecukupan menggunakan akal budi (sufficienti rationis), kan. 1095§1) dan perbuatan kemauan diperlukan pengetahuan yang minimal apa itu perkawinan (bdk. Kan. 1096), suatu kemampuan membentuk pandangan mengenai hak dan kewajiban hakiki perkawinan (bdk. Kan. 1095§2) dan keabsahan internal maupun eksternal (bkn. Kan. 1103).
Contoh: Orang yang sebenarnya tidak mau menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orangtuanya, namun akhirnya menikah demi orangtua yang sangat mengharapkan perkawinan tersebut dan demi orangtua yang sakit-sakitan. Selama perkawinan pun yang bersangkutan merasa hidup dalam neraka. Memang dengan perkawinan tersebut, masalah yang dihadapi oleh keluarga dapat diselesaikan. Perkawinan ini menjadi simulatio totalis, sejauh perkawinan dilaksanakan demi menyelesaikan masalah. Ada desakan dari dalam yang memaksa yang bersangkutan berkeputusan untuk menikah.
Perkawinan ini dalam kategori metus reverentialis sejauh perkawinan dilaksanakan demi orangtuanya. Di sini ada desakan pihak luar yang memaksa yang bersangkutan untuk menikah. Orang menikah lebih karena kehendak orangtua yang sudah dalam keadaan sakit-sakitan. Contoh lain: perkawinan karena kehamilan di luar nikah: perkawinan ditempuh sebagai jalan satu-satunya untuk menghindarkan sesuatu yang dipercayai akan terjadi
8. Perkawinan bersyarat: kan. 1102
Kanon ini berbicara tentang kesepakatan bersyarat (consensus conditionatus), yang dibedakan tiga macam: mengenai sesuatu yang akan datang, mengenai sesuatu yang sekarang dan mengenai sesuatu yang sudah lampau.
Kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang akan datang selalu menggagalkan perkawinan, karena membuat status perkawinan tidak jelas. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal nanti tetap bebas untuk menjalin hubungan dengan orang lain”. Sedangkan kesepakatan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang atau yang lampau, validitas perkawinan sangat tergantung pada terpenuhi-tidaknya syarat yang dicanangkan. Misalnya: “Saya mau menikahi kamu, asal kamu masih perawan”. Kanon 1102§2 memperbolehkan dilaksanakannya perkawinan bersyarat mengenai sesuatu yang sekarang dan yang lampau. Namun untuk melakukannya, dibutuhkan izin dari Ordinaris wilayah (kan 1102§3).
Condicione masuk ke dalam salah satu elemen aksidentil yang dapat menggagalkan perkawinan dengan merujuk pada kan. 124§1: “Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya dan pula agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu”.
9. Paksaan atau ketakutan besar (vis et metus): kan. 1103
Pengertian
Suatu dorongan atau desakan yang tak dapat ditahan atau ditolak (fisik atau moril). Paksaan atau ketakutan terjadi apabila perkawinan dilaksanakan lebih untuk menghindari kemungkinan terjadinya sesuatu yang lebih buruk. Perasaan takut dibedakan dua macam, yakni: perasaan takut yang biasa (common fear), yang ditimbulkan oleh ancaman / bahaya dari orang jahat atau orang yang memusuhinya; dan perasaan takut terhadap orang yang dihormati (reverential fear), ditimbulkan oleh kemungkinan akan terjadinya hal buruk atau ketidaksenangan pada seseorang yang seharusnya dihormati secara khusus (mis: orangtua, kakak, pemimpin, wali, dll).
Pembuktian
Perlu dilihat latar-belakang orang yang bersangkutan, juga bentuk dan tingkat ketergantungannya pada orang lain atau orangtuanya, konkritnya: hubungan yang bersifat superior-inferior.
Mengamati mekanisme terjadinya paksaan atau rasa takut:
a. mula-mula ada suatu keyakinan dari pihak inferior mengenai sesuatu yang dimiliki dan dipertahankan oleh pihak superior (kehormatan, nama baik, status ekonomi/sosial, dll)
b. keyakinan ini dibarengi keyakinan bahwa pihak inferior harus menjaganya juga: apa yang dimiliki pihak superior terancam oleh kesalahan pihak inferior. Karena itu perkawinan pihak inferior menjadi penyelamat pihak superior.
Melihat beratnya ancaman, terkait dengan bentuk dan wujud kerugian yang sungguh diyakini pihak inferior bila tidak terjadi perkawinan. Biasanya didahului dengan gagalnya usaha meniadakan penyebab ancaman (menghindari hubungan, menggugurkan kandungan, dll).
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar